“Elena…” panggilmu ragu setelah batal memakai seatbelt. Kau menatapku tajam namun lembut, tatapan yang tak bisa kuterjemahkan. Mesin mobil masih mati, tidak ada tanda-tanda akan melaju pada detik-detik ini.
“Apa?” aku mengerti, ada sesuatu yang ingin kau katakan. Mungkin hanya sepatah kata maaf. Yang secara jelas tidak akan mengobati luka yang selama tujuh tahun ini mengaga dan kubiarkan kering dengan sendirinya. Wajahmu serius, namun alismu yang turun menggambarkan dengan jelas ada sedih yang kau rasa.
“Aku bercerai dengan Marina,”
“Aku tahu, tadi kamu udah bilang,” kamu terdiam lagi. Sesekali menggigit bibir seperti ingin memuntahkan sesuatu yang tertahan. Hening tercipta. Sesungguhnya aku benci berada lama-lama dalam situasi aneh seperti ini. Apalagi bersama orang yang dahulu pernah amat kubenci.
“Aku bercerai dengannya tiga tahun lalu, karena selama dua tahun menikah…nyatanya aku tidak bisa melupakanmu,”
Nafasku tercekat. Tenggorokku terasa panas. Wajahku pias dan tidak ada ekspresi selain memperlihatkan raut mematung. Ini lelucon apa lagi? Tubuhku kaku dan hatiku mencelos. Aku tidak bisa memahami, bagaimana pria ini dengan mudahnya pergi tujuh tahun lalu dan sekarang datang lagi juga dengan mudahnya. Alam bawah sadarku berputar mundur secepat kilat menuju perisitiwa selama tujuh tahun lalu. Ribuan tetes air mata, kehadiran orang-orang yang membantuku menguatkan diri, keadaan frustasi yang mempengaruhi kinerjaku menjadi buruk sehingga aku sempat dipecat dari kantor lama, perjuanganku untuk melupakanmu dan memaafkan diriku sendiri karena telah mencintaimu sebegitu dalamnya.
“Aku mencintai Marina ternyata tidak lebih dari sekedar luapan emosi. Emosi karena waktu itu kau tidak ada di saat aku butuh. Emosi untuk merasa dihargai keberadaannya oleh seseorang. Emosi untuk memiliki pendamping sesuai dengan yang kuinginkan,”
Wajahmu memelas, dan aku benci tatapan itu. Kau mengungkit-ungkit kesalahanku, terus, bahkan sejak tujuh tahun lalu, yang menjadi alasan yang meaksaku agar aku mau melepaskanmu demi Marina.
“Kamu nggak pernah benar-benar mencintai aku, Rico. Karena kamu hanya menginginkan wanita sesuai dengan tingkat kepuasan ukuranmu. Kamu nggak penrah mencintai diriku yang sebenarnya. Kamu hanya butuh wanita yang bisa memuaskanmu, itu saja,”
Aku melakukan pembelaan. Tangisku tertahan di tenggorok. Rasa kesal yang bertahun-tahun kusimpan rapi kini terkubur dan meledak berapi-api.
“Itu dia salahku, Marina. Itu dia. Aku tidak pernah menghargai wanita, menghargai kamu,” nada bicara Rico merendah. Bibirku kering, otakku terasa kosong. Ada ketulusan yang terpancar dari tatapannya. Aku benci harus merasa sedih saat mendegar perkataannya barusan. Aku benci mengapa harus mendengarnya sekarang. Aku benci untuk mengakui bahwa masih ada cinta yang tersisa di hati kecilku untuk Rico. Cinta yang tidak disudahi dan ditinggalkan begitu saja. Aku tidak tahu lagi harus apa. Hatiku mengkerut dan menyiksa. Tetapi ia juga tidak menyesali kebenciannya yang teramat sangat kepada Rico waktu dulu. Ia hanya membenci, mengapa ia harus merasakan perih ini lagi.
Air menetes di pipiku. Hangat. Kalau saja parkiran itu banyak penerangan, aku bisa semakin yakin kalau matamu juga tergenang. Kemudian, kamu mengusap pipiku yang basah. Jarimu dengan lembut menyapunya. Kemudian ibu jari itu turun ke sudut bibir dan berhenti disana. Aku tidak berdaya, dan mengapa dengan bodohnya aku pasrah saja saat kau mengangkat daguku dengan telunjukmu yang dingin. Kamu mengecupku perlahan dan lembut, tapi ada halilintar yang panas sedang melonca-loncat di hatiku. Akal sehatku berkata ini salah, tapi hati kecilku membiarkannya. Biar rindu selama tujuh tahun itu terbalaskan. Pikiran itu hanya menimbulkan emosi yang kuat. Membuat aku mengulum bibirmu secara ganas. Kamu pasrah, terima saja. Malah membelai tanganku yang saat ini meremas rambut ikalmu di bagian bawah kepala. Sekali lagi, aku mencium dengan menuntut. Kau membiarkannya, membiarkan aku meluapan emosiku yang kutahan selama tujuh tahun ini. Egoku tidak boleh dibiarkan. Semenit kemudian emosi itu turun, bersamaan dengan tubuhku yang menarik diri darimu. Terakhir, kau mengecupku lagi dengan lembut dan cukup lama. Aku bisa merasakan ketulusannya.Dan aku benci merasakan itu sebagai sebuah kedamaian.
“Maaf, Rico. Terlambat. Aku mencintai keluargaku. Aku mencintai suami dan anakku,”
Kalimat itu mungkin menjadi kalimat terakhir yang kau dengar dariku. Kau tidak perlu lagi mencariku, aku bukan jodohmu.
“Real love stories never have endings“
Richard Bach