Setelah menjadi korban perselingkuhan, aku tak pernah yakin akan ada lagi cinta yang ditujukan untukku. Mungkin lebih tepatnya, aku takut jatuh cinta lagi. Selama sepuluh bulan ini tidak pernah ada air mata. Selama itu juga aku tumbuh menjadi wanita yang keras. Aku seolah memiliki kecenderungan untuk berkelahi. Di satu sisi, aku melakukannya karena waspada. Agar tidak ada lagi kesempatan bagi orang lain untuk menyakitiku.
“Halo? Dis? Adekmu dirawat, Nak. Dibawa ke rumah sakit sama Pak Har…..”
Bolehkah kalau cinta yang kupersalahkan? Tapi memang begitu jawabannya. Bagaimana mungkin seorang gadis manja bisa berubah drastis menjadi wanita yang mandiri? Bagaimana bisa seorang gadis bertutur kata manis berubah menjadi wanita yang ketus? Aku membuktikannya. Seluruh hidupku berubah total dan aku menikmatinya. Atau mungkin aku hanya sedang menjadi orang lain? Jikalau pun aku kembali, itu berarti aku telah berdamai dengan masa lalu. Saat itu hatiku telah sembuh, satu-satunya alasan yang tepat dari semua perubahanku.
“Papa nggak bisa ijin untuk pulang lebih awal. Jadi mama nggak bisa pulang. Tau sendiri Papa kamu nggak mau ditinggal!”
Aku tidak sedang bicara soal cinta. Bukan, bukan. Aku pernah percaya soal keberadaannya, dulu saat aku bahagia sebelum akhirnya jatuh terperosok dan terluka.
“Tolong jagain adekmu ya,”
Setelah itu, bukan hanya cara berpakaianku saja yang berubah jadi cuek. Mama bilang aku jadi pemurung, tidak banyak bicara, dan cara berpikirku selalu bertentangan dengan orang lain. Semua masalah kuhadapi dengan kepala panas. Dalam menghadapi masalah, sebuah keharusan yang dilakukan adalah mencernanya perlahan, memahaminya, dan mencari jalan keluar. Sedang bagiku, yang paling pertama kulakukan adalah memikirkan bagaimana caranya melindungi diri sendiri.
“Tuut…tut…tut….”
***
“Dek, kok kamarnya disini?!”
Tidak butuh kata malu lagi untuk berseru seketika aku menemukan kasur adek bersisian dengan dua orang lainnya. Adek tersentak, sehingga terbangun. Dua pasien lain beserta keluarganya ikut terkejut.
“Ini kan kamar kelas tiga?”
Adek bungkam. Wajahnya memelas dan ia hanya bisa menggeleng. Nafasku memburu, emosiku naik ke puncak saat itu juga. Tidak sampai hati membayangkan sudah hampir seharian ia terpaksa terbaring lemah disini tanpa perhatian lebih dari siapapun, termasuk suster. Hei, tapi memang begitu kenyataannya. Pelayanan yang diberikan untuk pasien kelas tiga dan VIP sangat jauh berbeda. Dan yang paling menyedihkan karena Adek memiliki jaminan asuransi full dari kantor Papa. Bukankah perlu bila kita menginginkan yang terbaik untuk keluarga kita?
“Kemaren Pak Har nggak bilang kalo kamu megang asuransi?”
Salahku bertanya pada si Adek yang penakut dan terlalu polos. Ia bahkan hanya menggeleng bingung, dengan bahu terangkat, sama seperti alisnya. Atau jangan-jangan ekspresinya itu sebagai tanggapan dari sikapku barusan? Aku terlihat se-begitu-menakutkannya kah?
“Hhhh….”
Aku tidak sedang menenangkan diri, namun menahan napas yang sepertinya mau meledak. Aku tidak paham di mana letak kesalahannya, ada pada Adek, Pak Har, atau Rumah Sakit ini? Setiakdaknya, hanya pihak RS yang saat ini bisa kutuntut.
“Sus, saya kakaknya Daffa. Kenapa Daffa diletakkan di kamar kelas tiga?!”
Lagi-lagi, aku telah mengejutkan orang lain. Suster sepertinya sudah biasa menanggapi pasien dan keluarga pasien yang rese seperti aku. Seperti tak peduli, sang suster masih asyik berkutat dengan buku besar menulis entah apa.
“Suster, Daffa berhak mendapat kamar VIP. Saya serius loh!”
Ia lalu mencari-cari sesuatu dari dalam box. Memilih satu, menuliskan sesuatu pada label di depannya, lalu bangkit dengan setengah berlari.
“Maaf, Mbak. Mohon maaf sekali, nanti kembali lagi ya! Ini jam ganti shift dan visit. Kami kekurangan suster,”
Lalu tiba-tiba suster itu pergi. Aku masih tidak terima dan mengikutinya dari belakang. Apa-apaain sih Rumah Sakit ini?!
“Sus! Suster!!”
Kali ini aku serius mengejarnya. Suster itu sepertinya memang benar-benar sedang sibuk, namun sama sekali tidak terlihat panik. Tapi seharusnya, bila kekurangan sumber daya pun seharusnya suster bisa memperlakukan pelayanan juga kepada pasien lain, begitu kan seharusnya?
Suster itu memasuki sebuah ruang. Di depannya tidak terdapat papan nama pasien dan nomor kamar. Berarti ini bukan salah satu ruang kamar, sehingga aku tidak perlu menahan emosi yang sudah tidak bisa ditahan. Ruang suster, asumsiku.
“SUSTER!”
Waktu seakan melambat. Tidak ada pergerakan selain pasang-pasang mata yang terpaku. Membelalak, bertanya, dan menghakimi kepadaku. Tiga orang suster saling sibuk mengupayakan nafas pasien laki-laki itu, yang kini tatapannya tak lepas dariku.
Waktu masih melambat, aku bahkan seperti bisa mendegar nafasnya yang satu-satu dan berat sekali. Mulutnya terbuka mencari-cari oksigen dari masker yang dipegang salah satu suster. Matanya tidak. Masih menatapku dengan lemah. Tatapan itu seperti sihir, tidak bisa kucerna oleh akal sehat. Tidak terbaca. Tidak terdifinisi.
***