Postingan kali ini lumayan berbeda. Gue nggak akan menjelma jadi pujanggi seperti biasanya. Iseng mau nyampah aja sekaligus menanggapi pertanyaan blogreaders yang mau tau gimana gue bisa ngerangkai kata-kata yang puitik dan kedengaran indah. Sejujurnya, gue juga nggak ngerti tiba-tiba di otak gue suka muncul kata-kata random. Gue sebagai orang yang amat random nggak pernah mempermasalahkan itu, cuma ngeliatin satu kata itu berlipat menjadi dua, tiga, empat, menjadi satu kalimat, kemudian AVADA KEDAVRA jadilah sebuah puisi.
Membuat puisi itu nggak sulit, tapi juga nggak mudah. Setiap orang punya kemampuan dan kesempatan untuk membuatnya. Kalau terus menerus berlatih akan terlihat ciri khasnya sebagai seorang penulis puisi, bahkan kepribadiannya juga bisa terbaca lewat bait-bait itu. Hal itu yang amat disayangkan, kenapa puisi makin kesini makin nggak ada artinya buat dunia nyata. Udah nggak ada lagi buku puisi yang dulunya sering dijual di mana-mana, udah nggak ada lagi majalah Horison yang mudah didapatkan di kaki lima manapun. Sekarang harus ke Gramedia dulu buat nemuin majalah Horison.
Nggak ada definisi spesifik yang gue temuin di Google waktu mencari asal-usul majalah Horison. Itu sudah cukup menjadi bukti bahwa betapa negara kita ini kurang menghargai dunia sastra yang sebenarnya bisa membangkitkan bangsa. Majalah Horison setau gue adalah majalah sastra yang berisikan banyak puisi. Dari mulai pujangga lama (sebelum abad 20), angkatan Balai Pustaka seperti Mohammad Yamin, Pujangga Baru seperti Armijn Pane, angkatan 45 seperti Chairil Anwar, angkatan 50-an seperti Pramoedya Ananta Tour, angkatan selanjutnya seperti Taufik Ismail, dan mungkin angkatan reformasi seperti GusDur (gue nggak inget). Di deket rumah gue di Bogor ada sebuah toko fotokopi yang dimiliki oleh seorang bapak-bapak. Beliau penyuka sastra dan langganan majalah Horison. Gue jadi sering kesana buat baca majalah dia dan sekadar ngobrol-ngobrol soal puisi ini dan itu. Mulai sejak itu, gue makin mencintai puisi dan mengenal sastra. Mulai sejak kelas tiga SD. Tepat saat itu juga gue mulai suka nulis cerpen.
Kesukaan gue pada puisi makin menjadi-jadi di waktu SMA. Di sekolah gue mading yang berfungsi aktif menyalurkan aspirasi dan inspirasi murid-muridnya adalah mading Rohis, mading OSIS cuma berisi info-info acara. Maka, masuklah gue ke Rohis, menjabat menjadi koordinator mading, sekaligus membuat isi materinya. Dari situ tiba-tiba muncul beberapa orang yang mengaku sebagai pengagum puisi-puisi gue. Jadilah gue punya kebiasaaan baru, yaitu membuat puisi setiap harinya dan mengirimkan kepada mereka via sms dengan cuma-cuma. Sayangnya, puisi-puisi itu cuma gue kirim dan nggak gue simpan. Mungkin kalau dikumpul sampai sekarang, puisi gue udah bisa jadi empat buu. Hiks…
Kalau mengingat puisi-puisi yang hilang itu rasanya sedih banget. Kehilangan karya yang kita buat sendiri itu seperi kehilangan jati diri. Oleh karena itu, gue mulai menulis puisi lagi dan mencatatnya di HP. Smartphone yang punya memori gede sangat ngebantu kebiasaan gue ini. Berikut salah satu puisi yang gue catat di HP beberapa waktu lalu.
Ketika seribu rindu terpantul dinding hatimu
Cinta bertanya soal keberadaannya di dunia kita
Adalah gundah yang mencipta kalut berujung sia
Beritahu malam bila mentari sudah datang
Pendarkan sepi jiwa yang sedang mati suri
Aku memang mengerang
Aku tidak mengeluh
Hanya menahan perih kerinduan ini dengan palsu
Menikmati dalam amarah yang tak pernah sampai padamu
Bila kau mengerti ketulusan, bukankah kau tak akan mampu
Aku sedang tidak marah
Aku mana bisa marah padamu
Kamu adalah aku
marah padamu adalah memaharahi diri sendiri
Dan andai kata kau peka rasa
tak perlu marahku
Merasakan cintaku sudah lebih dari cukup
Sajakrasa010512
Kadang-kadang gue nggak ngerti sama diri gue sendiri, kenapa gue begitu nggak bisa diam bahkan ketika di dalam perjalanan. Saat lagi ngelamun bahkan di angkutan umum gue sering memikirkan kata-kata aneh yang kemudian gue catat ke dalam memo di HP. Memo gue sudah penuh dengan judul yang sama dan kode-kodenya yang berbeda. Setiap memo itu gue beri judul Sajakrasa kemudian tanggal gue menuliskannya. Salah satunya adalah puisi di atas. Sajakrasa yang gue buat pada tanggal satu bulan Mei tahun 2012.
Suatu saat Fikri berkata kepada gue, “kalau kamu suka bikin puisi kenapa nggak dijadiin lagu aja?”. Terakhir gue main gitar itu waktu kelas tiga SMP. Gue inget banget, gue berlatih main gitar setiap hari karena di acara perpisahan kelas tiga nanti gue bakal disuruh nyumbang lagu. Nah, gue mau tampil beda yaitu dengan main gitar. Tentu karena seseorang.
Kembali ke pokok permasalahan. Nunggu bisa main gitar lagi kayaknya bakal lama. Jemari gue juga udah kaku pas megang senar. Gue nggak sengaja milih puisi di atas dan nyanyiin sedapatnya. Eh, jadi lagu juga. Tapi, liriknya jadi gini,
Ketika seribu rindu terpantul dinding hatimu
Cinta bertanya keberadaannya di dunia kita
Adalah gundah yang mencipta kalut berujung sia
Beritahu malam bila mentari sudah datang
Aku memang mengerang
Aku tidak mengeluh
Ku hanya menahan perih rindu ini dengan palsu
Aku mencintaimu
Kau tak tahu itu
Bila kau merasa, sakitnya meradang
Kau tak akan mampu….4x
Kata Fikri, bagus. Gue berharap banget suatu saat nanti gue bisa bikin banyak soundcloud berisi lagu-lagu dari puisi-puisi gue yang numpuk di memo HP. Semoga ada yang ngiringin, atau minimal ngajarin main gitar lagi. Amen.
Membuat lagu dari puisi itu sebenarnya hanya menjadi motivasi buat gue biar nggak berenti nulis puisi, karena bosan misalnya. Intinya, membuat puisi itu nggak susah. Jangan paksa diri buat ngerangkai kata-kata indah apalagi nyuri dari puisi orang. Just write what you feel, then feel what you wrote. Sekarang udah banyak banget akun media sosial yang memfasilitasi kita buat terus bersajak, seperti @Syair_Malam, @Syair_Pagi @nulisbuku, dan akun-akun penulis yang sering ngetwit puisi kayak @hurufkecil atau @albumhitam. Manfaatin aja akun-akun itu buat memperoleh perbendaharaan kata-kata indah lebih banyak lagi. Semakin banyak baca, maka lo akan semakin banyak nulis.
Bikin puisi memang nggak bisa menghasilkan uang apalagi bikin jadi pintar di sekolah atau kampus. Tapi, suatu saat nanti lo pasti bangga sama puisi-puisi yang lo bikin. Bahkan lo nggak percaya kalau lo pernah membuatnya.
So, keep writing!
With love,
Nayadini