Tadi siang aku hampir pingsan. Bukan, bukan. Bukan karena terik matahari yang membuat kepala pening, tapi karena shock saking kagetnya.
Aku melihatmu.
Bertemu denganmu adalah kedambaan paling kuimpikan dari mimpi apapun. Serta merta aku malah canggung dan mematung. Detak jantungku bukan mengalir lagi, tapi terlalu cepat seperti berlari. Aku masih ingat kondisi di luar panas dan cerah, tapi saat ini aku malah merasakan ada sebuah petir besar menyambar akal sehatku. Kamu tidak bergeming. Bersikap sewajarnya dan mendelik kepadaku berkali-kali. Suasana menjadi canggung sekali.
Sudah beberapa detik dan aku masih terdiam. Mataku tak mau berhenti memperhatikanmu dari atas sampai kaki. Dahi yang khas, sepaket mata bulat dan bulu mata yang ikal, hidung semi-mancung dipadu kulit sawo matang yang biasa disebut orang dengan istilah hitam manis. Tubuhmu yang menjulang selalu menjadi kecintaanku, ukuran yang pas kalau saja saat ini kau mau sebentar mendekapku, kemudian aku akan jatuh tepat ke depan dadamu yang lapang. Tempat untukku berpulang, seperti itulah kau biasa menyebutnya.
Aku merindukanmu.
Mulai detik ini aku merasakan bagaimana sulitnya menjadi bisu. Kata-kata itu berteriak-teriak keras di balik kedua bibir yang terkatup rapat. Andai saja kau mau sedikit memperhatikan kedua bola mataku mulai basah dan meneteskan sesuatu. Andai saja kau mau bisa membaca air wajahku yang penuh rasa; cinta, bahagia, dan iba.
“Mbak? Ada apa ya?” tiba-tiba kau bertanya seolah tak mengenalku. Apa yang kau lakukan? Kemana cinta yang mengikat kita sejak dulu?
“Eng…maaf, Mas. Enggak apa-apa,” aku lantas berlari secepat detak jantungku memompa. Bukan karena malu, tapi karena rindu yang tak berkesudahan kepadamu. Apakah itu kegiatanmu sekarang, Sigit? Menjelma menjadi semua orang agar bisa bertemu denganku meski dari surga sana?