Aku memang tidak pernah tahu rasanya menjalin hubungan asmara itu seperti apa, tapi kalau bagaimana rasanya jatuh cinta aku selalu tahu. Rasa itu muncul tanpa kusadari setiap kali kamu muncul di hadapanku. Dan, aku tak pernah tahu alasannya mengapa harus kamu. Dan, aku tahu tidak pernah ada peluang untukku, namun melihatmmu tersenyum sudah cukup menggenapkan jiwaku entah bagaimana.
Pagi itu, kita bertemu lagi. Kantin seolah menjadi tempat termudah untuk menemukanmu. Sebagai seorang penulis kamu justru tidak pernah berada di perpustakaan. Melainkan di kantin bercengkrama dengan orang-orang yang berbeda. Aksara yang populer dan terlihat sibuk. Dan, aku selalu mencintai sisi lan dari dirimu. Ke-over-active-an itu membuat semua orang tidak pernah bisa percaya kau adalah seorang penulis. Sisi yang kau tampakaan terlalu tidak nyata. Dua sisi yang berlawanan kepribadiannya. Namun aku selalu percaya, kata-kata itu selalu membawaku pulang padamu, Aksara.
Tumblr-ku ketinggalan. Aku tidak bisa melewatkan pagi tanpa segelas cappucino. Keputusan untuk ke kantin itu ternyata tidak membuatku menyesal. Kutemukan kamu di sana, Aksara. Terduduk di salah satu kursi di antara meja-meja yang masih sepi. Untuk pertama kalinya aku tidak melihatmu tertawa dan berkumpul bersama orang-orang seperti biasanya. Ada sebuah buku terbuka di hadapanmu. Buku yang tidak terlalu tebal, sehingga dapat kau pegang sebelah tangan. Lalu sebelah tangannya lagi tertelungkup menutup mulut dan dagu sekaligus. Dengan salah satu kaki tertumpuk di antara lainnya, kau terlihat seperti salah satu patung di Yunani, terlihat begitu indah dan memesona. Jeans sedikit robek dipadu kemeja kotak-kotak cokelat yang lengannya digulung asal-asalan. Juga tas yang terbuat dari simpul tali-tali seratkayu jati yang di dalamnya tidak berisikan apa-apa, hanya sebuah buku yang sedang kaubaca itu.
“Aksa!” Seorang wanita yang tadi berlalu di hadapanku kini berjalan menarah kepadamu. Melenggang cantik dengan bokong terangkat karena di kakinya terpasang wedges cukup tinggi. Wajahnya dibingkai make-up natural yang cantik, menghias wajahnya yang sudah cantik. Wanita itu menarik bukumu dengan genit, lalu menempelkan pipi sebelah kanan dan kiri secara bergantian. Dan, Aksara, matamu menatapnya dengan berkilat-kilat. Selanjutnya, aku tak ingin lihat lagi.
Aku akan tetap mencintaimu, Aksara. Selama kamu masih memproduksi kata-kata.
Namaku Bulan. Yang tidak akan menjadi indah bila tiada rangkaian aksara untuk menggambarkannya. Yang akan menjadi biasa saja jika tanpa kamu.