“Aduh, kayaknya gue married pas umur 24 aja deh. Udah nggak sabar,” ujar Lenny.
“Berarti kurang dari setahun lagi dong, Len?” Tere berteriak seru. Disusul jerit teman-teman lain yang sangat khas mereka. Mungkin harusnya mereka tidak menjerit, karena Tere juga sudah punya calon, ia sudah berpacaran kurang lebih 5 tahun dengan Damar, sudah cocok kan disebut sebagai calon? Selain Tere ada juga Fio, yang semula hanya dijodohkan dengan Haris oleh orang tua mereka sesama rekan kerja, namun pada akhirnya mereka setuju karena muncul chemistry di antara keduanya. Sisanya ada Andina, wanita berjilbab itu tenang saja, meskipun single dan tidak punya pacar, dia sudah ada beberapa pilihan untuk dijadikan calon suami. Lama-lama, tawa dan obrolan mereka sudah tidak terdengar lagi. Diterpa tetes-tetes yang mengetuk kaca jendela di sebelahku terduduk.
“Kar? Kara!” Fio ternyata sudah memanggilku berkali-kali tanpa kusadari. Yang lainnya hanya menatap jengkel atas sikapku.
“Eh…iya. Apa?”
“Elo besok bisa dateng kan ke acara tunangan gue?” pertanyaan Lenny ini lucu. Terdengar seperti menyindir seolah-olah aku tidak akan datang karena tidak punya pasangan. Eh….atau aku saja yang berlebihan tersindir? Wanita single katanya sensitif ya. Aku jomblo anw, bukan single.
“Ya datenglah, Len. Hari bahagia sahabat gue masa nggak dateng?”
“Bukan gitu, katanya lo ada deadline script buat gala cinema bulan depan?”
Benar juga. Aku bahkan hampir lupa. Masalahnya, besok aku ada meeting besar dengan produser dan sponsor, bahkan crew talent juga ikut karena deadline sudah sebulan sementara artis-artis belum ditentukan. Produser yang satu ini memang menyusahkan. Dia selalu bisa membaca minat pasar dan tidak mau menunggu lama untuk kejar tayang. Untungnya, semua pihak setuju atas gagsanku kalau meeting diadakan di coffeeshop ini, sehingga aku tidak perlu lagi menahan mual karena si produser sang pecinta makanan-makanan mentah ala korea dan jepang. Jarak dari apartemenku kesini juga dekat, jadi aku tidak perlu bangun terlalu pagi esok hari.
“Kar, ngomong-ngomong, lo beneran lagi nggak deket sama siapa-siapa?” tiba-tiba Tere bertanya. Disusul tatap-tatap mata penasaran yang lainnya. Aku merasa jadi makin kerdil.
“Iya,” aku hanya menggeleng pelan, “gue belum deket sama siapapun,”
Fio membuang nafas panjang, Tere jadi merasa bersalah sudah bertanya.
“Emangnya gue jelek banget ya? Sampai nggak ada yang mau sama gue?” suasana menjadi hening seketika. Andina sekelebat langsung memegang sebelah tanganku yang tergeletak dingin di atas meja, memandang dengan tatapan iba. Sentuhan itu justru membuat hatiku makin hancur lagi. Pasti aku terlihat menyedihkan sekali di mata mereka. Sesak rasanya bila terus diatanyakan soal pasangan oleh siapa pun. Teman, orang tua, keluarga, bahkan rekan di perfilma.
“Itu dia, Kar. Gue bingung. Elo itu cantik, pinter, kreatif, pekerja keras. Kenapa masih single aja ya?” Fio mengatakan itu entah jujur atau hanya untuk menyenangkanku saja.
“Mungkin lo picky kali, Kar?” Tere menambahkan. Aku jelas menggeleng.
“Semua orang di kampus juga tau, yang paling picky soal cowok itu elo, Ter,” spontan semua tertawa, kecuali aku. Sama sekali tidak mood untuk tertawa.
“Pasti ada yang salah sama lo, Kar,” Fio beragumen. Otakku spontan berputar, terlihat dari kedua alisku yang bertaut.
“Mungkin memang belum aja kali, Kar,” Andina mempererat genggaman tangannya, sambil berkata lembut dengan senyum yang begitu menenangkan.
Hujan sudah benar-benar reda. Embun di jendela sudah mulai menghilang dan tanpa bekas, karena aku bisa melihat dengan jelas Fio di lobby coffeeshop, sedang menyapa Haris yang datang untung menjemputnya. Andina sempat melambaikan tangan padaku, sebelum akhirnya beringsut ke mobil Tere yang akan datang ke lobby sebentar lagi.
Coffeeshop sudah benar-benar sepi. Dan aku masih memandangi langit sewarna maroon yang menjelma senja. Aku membuang nafas berat yang hangat. Sepotong kalimat milik Fio tidak berhenti berputar di kepala, pasti ada yang salah denganku.
***
Rama
Sejak pukul sembilan pagi, aku sudah duduk di sana. Bahkan aku sering datang kesini sebelum cafe ini benar-benar dibuka dan pelayannya masih bersiap-siap. Setiap pagi, aku selalu tergesa. Sering juga memaksa para pelayan untuk segera membuka tokonya. Hanya agar aku bisa mendapatkan kursi yang biasa.
Dan untungnya, para pelayan itu tidak pernah merasa kesal. Mereka paham satu hal, aku sedang jatuh cinta.
Seorang pelayan yang wajahnya sudah kukenal lalu datang dan menghidangkan secangkir espresso ekstra vanili di meja bundarku. Mataku tak berhenti menengok ke arah pintu, tatapan menunggu. Jemariku mondar-mandir tidak mau diam mengetuk-ngetuk muka meja.
“Sepertinya hari ini terlambat, Pak,” Desinta, nama yang tertera di dada kiri pelayan tadi, memberi jawaban yang membuatku berwajah semu.
“Sepertinya begitu,” jawabku tersenyum sipu.
Shift siang akhirnya kupilih tanpa kombinasi selama tiga mingguan ini. Jika aku harus masuk kerja pukul satu, berarti aku selalu punya waktu kurang lebih dua jam untuk mampir dulu di Coffeeshop ini dan menunggu Puan. Aku bahkan tak kenal siapa namanya. Suatu hari aku pernah berjanji untuk mau berani menyapanya. Sering kali, terlalu sering, sampai hari ini, aku tidak pernah menepati janji itu sendiri.
Tak berapa lama kemudian dia datang. Hari ini ia nampak begitu berbeda dan……memesona. Kali ini ia tidak mengenakan skinny jeans dan kemeja kebesaran, melainkan dress di atas lutut dengan kerah sebahu yang memperlihatkan tulang lehernya yang menonjol. Ada layer-layer di dadanya yang membuat tubuhnya menjadi lebih berisi. Bajunya berwarna peach. Kali ini juga tidak ada Docmartens berwarna merah maroon, berganti menjadi stiletto runcing berwarna krem yang membuat kakinya terlihat makin jenjang. Potongan rambutnya dibiarkan sama, serupa pramugari dengan salah satu sisi lebih panjang sepipi, hanya kali ini wajahnya dihias sedikit make-up yang natural. Dia benar-benar memesona.
Puan melenggang perlahan ke tempat ia biasa duduk, di sisi jendela sudut ruangan non-smoke. Sama sekali tidak terlihat kesulitan telah melakukan vermak habis-habisan pada dirinya sendiri menjadi feminin. Well, itu menandakan selera fashion-nya cukup bagus dan dia stylish.
Aku tidak ingat sejak kapan pandanganku tidak lepas darinya. Hari itu aku terpaksa bertemu teman lama dan Starbucks di lantai teratas mall ini yang ternyata ramai sekali tidak seperti biasanya. Dan hampir semua orang berlama-lama di sana. Terpaksa aku dan Jeffry berkeliling. Tempat makan terlalu bising untuk acara temu-kangen dan juga tidak boleh merokok. Saat kami menuju basement karena putus asa ada sebuah Coffeshop di seberang. Tidak terlalu luas, ukurannya terbilang kecil namun memiliki parkir yang luas. Dengan susah payah, kami mencoba Coffeeshop yang tidak terkenal itu. Dan di sanalah aku bertemu Puanku. Sedang terduduk di atas kursi tinggi di sisi jendela dengan laptop terbuka. Tanpa alasan yang jelas, aku langsung menyukainya begitu saja.
Aku tidak pernah tahu apa yang dilakukannya setiap hari di Coffeeshop ini di setiap hari kerja. Duduk di sisi jendela dengan pose yang selalu sama, dengan mata yang tertuju pada sebuah ultrabook berwarna silver dengan logo apel ditengahnya. Aku benar-benar tidak tahu dan aku amat mau tahu.
Hari ini ia tidak sendiri. Ada seorang pria bertampang seniman, seorang wanita muda bertubuh gempal, juga beberapa pria berjas menghampirinya. Dia beranjak dan segera mengajak ke ruang meeting yang ada di lantai dua. Rupanya rapat penting. Aku tidak mau tahu itu apa, tapi yang jelas hari ini aku harus menepati janjiku.
Tuuut….tuut…
“Halo, Mbak Reda, aku absen dulu ya hari ini nggak bisa ke kantor. Buang-buang air terus,”
Klik.
Berbohong sekali daripada menyesal selamanya.
***
Kara & Rama
Diluar dugaan Kara, meeting hari itu lebih cepat selesai dari biasanya. Heels lima centi itu lumayan menyiksanya, namun sekali-kali menjadi cantik seperti ini tidak ada salahnya. Script-script dengan deadline super-kilat telah merenggut waktunya untuk berdandan, sebagai alternatif maka Kara selalu mengenakan style boyish agar sesuai dengan wajahnya yang awut-awutan. Sekeluarnya dari pintu Coffeeshop mengantar para tamu Kara segera kembali ke kandang, kursi tempat ia biasa mengeram dan memproduksi naskah-naskah baru. Hari itu hatinya begitu ceria, entah karena langit sedang tidak menurunkan hujan atau karena hari ini ia mengenakan baju berwarna muda.
Kara baru saja akan membuka laptop saat Ayu, pelayan yang sudah ia anggap teman sendiri, mendatangi mejanya dengan secangkir Cappucino. Kara baru saja ingin protes karena Ayu memberikannya sebuah mug Cappucino extra-large, bukan hanya secangkir kecil seperti yang biasa ia pesan. Sebelum sempat Kara membuka suara, Ayu mengeluarkan sebuah tissue dari sakunya sambil tersenyum. Di atas tissu itu tertuliskan sesuatu dengan sebuah pena. Tulisan yang begitu rapi seperti di-print dengan komputer.
Do you have time for me just until you finish the coffee?
Ayu mengantar mata Kara yang bertanya kepada Rama yang tengah duduk tersenyum tidak jauh di sampingnya. Seperti tersengat listrik, senyum yang dihadiahkan Rama berpindah ke bibir Kara. Senyum dengan pipi bersemu yang membahagiakan. Ayu ijin pamit setelah Rama, yang berpakian khas kantoran dengan kemeja dilipat sesiku dan sebuah ipad di tangan, muncul menyerahkan tangan kanannya untuk dijabat.
Lenny benar, hari itu Kara tidak bisa datang ke acara pertunangannya. Namun bukan karena meeting, melainkan karena pangeran yang sudah ditunggunya selama bertahun-tahun telah datang.
Fio benar. Ada yang salah denganku. Terlalu sibuk berkutat dengan diri sendiri, sampai tidak menyadari ada seseorang yang telah menunggu selama berminggu-minggu dari kejauhan.