Pengalaman siang tadi tidak mampu kudeskripsikan. Saya merasa lucu, tapi miris sekaligus. Andai saja pengalaman ini diceritakan dari sudut pandang lain, mungkin cerita ini akan memiliki genre lain.
Jadi begini, tadi siang saya duduk di teras stasiun manggarai. Cukup lama. Menunggu seorang teman saya yang akan datang menjemput. Di tengah penantian itu, perhatian saya tertuju pada seorang bapak berkemeja lusuh yang sedang susah payah berjalan, terdapat lubang di sana-sini pada pakaiannya. Bapak tersebut berjalan dengan kecepatan lambat sekali, seolah tulang-tulang kakinya mau patah. Langkahnya kecil-kecil dan hati-hati. Tidak berapa lama muncul aroma tidak sedap. Rupanya bau tersebut berasal dari si bapak yang perlahan menghampiri saya dan mengambul posisi duduk bersisian. Ada bercak-bercak kuning kecokelatan di ujung celana panjangnya. (Mohon maaf) Bau tidak mengenakkan tadi menyerupai bau kotoran manusia, mungkin saja si bapak sempat buang air di celana entah karena tidak sanggup mencari toilet buru-buru atau karena sudah pikun saking rentanya.
“Masih kuliah, Neng?”, tanyanya dengan suara yang hampir tidak terdengar. Saya menjawab sudah lulus sambil berusaha tersenyum meskipun sebenarnya sedang menahan napas. Baunya membuat saya mual dan ingin muntah.
“Alhamdulillah kalau sudah lulus. Neng tahu rumah sakit Aini? Kepala saya pusing, saya mau pulang.” jelasnya tanpa ditanya. Jujur saja, saya bingung dengan apa yang ia bicarakan, tetapi saya tahu ke mana arah pembicaraan itu akan bermuara.
“Kalau diberikan sukur alhamdulillah, saya butuh uang 5000 rupiah. Saya nggak bisa pulang.” dengan sopan bapak tersebut menelungkupkan tangannya di depan wajah, seraya menunduk serupa orang yang sedang berdoa.
Saya diam, lalu tersenyum.
“Saya ingin sekali membantu Bapak, tapi ini uang terakhir saya untuk entah sampai kapan.” Kutunjukkan selembar dua ribu kucal yang sejak tadi kugenggam ke hadapannya. Si bapak menutup mulutnya dengan kedua telapak tangan. Tidak berkata apa-apa. Saya tersenyum lagi, lalu sebentar-sebentar melirik ponsel.
“Ada yang ditunggu, Neng?” Saya tidak percaya ia akan bertanyalebih. saya pikir si bapak akan langsung pergi sestelah tahu mangsanya ternyata lebih miskin dari dirinya. Alias salah sasaran.
“Saya sedang menunggu teman saya yang akan menjemput, karena saya nggak punya uang untuk beli tiket kereta. Saya nggak bisa pulang.” Si bapak bungkam lagi. secara refleks menyembunyikan tiket keretanya.
“Saya pamit, Pak. Teman saya sudah datang. maaf tidak bisa membantu Bapak.”
Entah apa yang ada dalam benak si bapak. Aku segera beranjak sebelum merasa bersalah karena si bapak seperti ingin memberikan tiket keretanya padaku.