Permainan Tak Biasa

“Bi, ada telpon buat aku nggak?” 
“Nggak, Neng. Daritadi nggak ada bunyi telpon malah,”
Jawabannya selalu nihil meski sudah kutanya tiap lima menit sekali. Tidak ada telpon, sms, email, atau apapun. Kemana perginya si pangeran kesiangan itu? Datang begitu saja dan pergi begitu saja. Tak sadarkah bahwa aku ini wanita? Aku tidak mungkin memulai.Tidak mungkin pula memutuskan. Kami (wanita) hanya bisa menunggu dan menjawab. 
Dibanding yang lain, aku bukan gadis yang mudah jatuh cinta. Namun aku juga bukan gadis yang mudah lupa tentang luka karena cinta. Berani bilang cinta kepada wanita kemudian membuangnya begitu saja adalah luka bagi kami. Kusimpulkan, kau telah membuat satu luka kecil di hatiku. Yang kecil bisa jadi besar bukan? Padahal sudah tak ada sisa tempat di hatiku karena telah penuh akan luka lama. Kupikir kau datang untuk menyembuhkan mereka (re: luka lama). Tapi bukan hanya salah, aku ternyata bermimpi. Mimpi yang dimiliki setiap gadis, cerita tentang pangeran yang akan datang membawa kabur sang putri untuk hidup bahagia.  Aku tidak selugu itu percaya pada dongeng, tapi bukankah berkat dongeng lantas kita berani bermimpi? Sedangkan semua berawal dari mimpi. Ah sudahlah, aku melantur. Intinya, kamu aneh.
Aku diam. Menurutmu aku sedang berakting? Ini bukan sandiwara, bukan permainan. Cinta bukan untuk dipermainkan. Kenyataannya memang tak ada yang bermain dengan cinta. Begitu juga kau. Karena kau tak pernah cinta kan? Engkau mempermainkan aku, hatiku. Ya, kamu main hati. Jika dalam sebuah permainan pasti ada yang mendang dan kalah, maka selalu kau yang akan menang. Karena pemainnya tunggal, hanya kau. Sedangkan aku, adalah permainanmu, bukan lawanmu. Jadi tak akan pernah ada kata kalah dalam kamusmu kan? Kamu telah memenangkan hatiku dan mengalahkannya sekaligus. Ya, hatiku telah kau menangkan untukmu, dan kau kalahkan dengan cara mematahkannya setelah tak kau inginkan lagi. Intinya, kamu jahat.
Permainan telah selesai. Jawabannya, kamu pemenangnya. Lantas mau apalagi? Aku telah menjadi simbol kekalahanmu yang sebenarnya. Pengecut!
“Neng? Neng!”
“Ada apa, Bi?”
“Ada telpon dari Mas….”
“Bilang aja, salah sambung!!”

The Gifts

Kali ini aku mencoba merealisasikan perasaanmu ke dalam bentuk visual. Selama ini aku jelas menghitung berapa banyak pupuk yang kau semai di hati ini. Mungkin aku memang pengecut, tetapi aku tidak sebodoh itu sampai menyia-nyiakan perasaanmu. Jika kau terbiasa menyampaikan salam untukku kepada angin, maka ijinkanlah aku kali ini menyampaikan isi hatiku lewat bayangmu. Yang selalu mengikutimu, yang bisa kau pandang kapan saja, tapi jelas tak akan terlihat bila tak kau tengok.
Terkadang mungkin aku menilai perasaanmu terlalu berlebihan. Tapi itulah justru yang membuat hatiku berdebar. Setiap detik aku berusaha menerjemahkan sikapmu. Sikap yang tidak biasa tetapi entah mengapa selalu kau kemas seolah biasa saja. Aku ini orang yang cermat meski ceroboh. Hal-hal detil terasa sangat berarti bagiku. Karena hal-hal detil itulah yang kutangkap adalah rasa cintamu untukku. Lagi-lagi, kau seolah tak ingat. Ya, Mari kita check and recheck.
Malam pertama aku mengiyakanmu untuk membawaku pergi menikmati dinner bersama. Akhirnya, itu pertama kalinya kita jalan berdua setelah beberapa bulan kau berusaha merebut hatiku (setidaknya, itu kesimpulanku). Demi apapun, ini bukan kali pertama aku makan di luar bersama seorang cowok yang bukan status teman biasa. Tapi baru kali ini aku merasakan hal yang baru, yang mengejutkan, yang membuatku salah tingkah sampai aku menjadi orang lain yang penuh basa-basi.
Bukan itu saja, entah bagaimana, alam serasa mendukung kita. Atau kita yang mentransfer energi tidak biasa ini kepada alam? Sampai ada sahabat yang datang, menjual bunga. Dan kau beli satu untukku. Tau kah kau bahwa itu mawar putih pertama yang kudapat dari seorang pria? Dan itu bukan hanya mawar, melainkan mawar putih, kesukaanku. Gigiku bergemetuk, bibirku kelu. Hatiku bersorak girang, tapi sikapmu menggambarkan kau hanya membantu sahabat yang butuh uang dan terpaksa membelinya. Aku ingin tahu apakah ada tujuan lain di hatimu saat kau berikan mawar itu padaku? Karena aku begitu senang. Mawar putih pertamaku. Aku merawatnya setiap hari dan menunggu keajaiban agar ia tidak mati, gagal.

Seperti yang kuduga, beberapa hari selanjutnya kau ingin agar kita bertemu lagi. Mungkin kau senang, tapi kau tak pernah membicarakan tentang mawar putih itu. Apakah aku suka atau apa kabarnya. Mungkinkah kau malu? Atau kau tak peduli? Aku berusaha melupakan tentang mawar dan menganggap kau malu mengingatnya. Ternyata, mawar putih itu bukanlah pemberian “pura-pura tidak sengaja” yang terakhir. Selanjutnya, ada cokelat. Rasanya kau paham betul bahwa aku sangat menyukai makanan manis. Semua makanan olahan susu seperti keju, yoghurt, es krim, apalagi cokelat. Aku sudah berupaya tidak terlihat kekanakkan saat kau menawari cokelat menggiurkan itu, tapi kau lebih dulu mengenali siapa aku, si penyuka cokelat.

Lagi-lagi, ini adalah cokelat pertama pemberian dari pria yang bukan temanku. Dulu, beberapa kali, pacarku sering memberikan cokelat, tapi setelah kuminta. Atau karena mereka kalah taruhan nonton bola atau nilai raport, atau sekedar iseng karena kelebihan uang jajan. Cokelat batang murni. Selalu itu yang kuperoleh. Dan kali ini berbeda. Aku mendapatkan cokelat yang tak biasa. Aku sengaja memilihnya yang berwarna biru. Rasanya kau juga tahu bahwa aku mencintai warna itu. Tapi entah kenapa saat itu kau malah menyodorkan kepadaku yang berwarna pink. Kenapa? Lagi-lagi kau tidak ingin terlihat begitu niat memberikan sesuatu padaku. Kau memberikannya seolah uang kembalianmu kelebihan. Mbak-mbak kasirnya saja tahu, terlihat saat mereka tersenyum-senyum geli melihat tingkah bodoh kita waktu itu. Kamu yang memaksaku menerima cokelat itu, aku yang mau tak mau untuk memilikinya. Yang tak pernah bisa kulupakan lagi adalah, bentuknya. Lupakah kau apa bentuknya? Bentuk cokelat itu bisa saja mewakili perasaanmu. Kuanggap kau mengaku.

Waktu itu memang aku menerimanya seperti mau tidak mau. Tapi adanya foto ini membuktikan bahwa aku mendambakannya. Bukan karena aku suka cokelatnya, tapi karena kau yang memberi. Kalau saja kau tahu, aku ingin tidak pernah memakan cokelat itu. Memajangnya di kamar, menatapnya setiap hari, dan menengoknya lagi dan lagi jika aku rindu kamu. Sedikit pembuktian bahwa kau pernah memberiku sesuatu yang spesial. Tahu kenapa? Bayanganku, cokelat-cokelat kecil itu adalah gambaran perasaanmu padaku. Banyak cinta disana, manis, terbungkus dan tak akan berkurang karena tak ada seorang pun yang bisa mengambilnya. Filosofiku pasti terdengar lucu, pemikiran yang terlalu jauh. Tapi ya itu, sudah kubilang, setiap detil adalah berharga bagiku.

Kekaguman datang padamu ketika kutahu kau hapal betul semua kesukaanku yang entah darimana kau tahu itu. Mawar putih, cokelat, sekarang apalagi? Bukan hanya buku. Tetapi juga penerbit dan penulis favoritku kau pun tahu. Aku ingat betul saat aku hampir menangis kehilangan novel favoritku. Kau ternyata bukan hanya membantu mencari berkali-kali, tetapi memberikan yang baru bahkan bersama novel favoritku lainnya. Sebetulnya aku sungkan menerima semua pemberianmu. Aku tak terbiasa menerima barang-barang dari orang lain. Apalagi barang yang memang kusuka. Kata mama, kalau suka, kita harus berusaha sendiri untuk mendapatkannya. Tapi kau juga tahu statement itu. Dan kau bilang dengan santainya bahwa ini hanya hadiah. Bagaimana aku bisa menolaknya?

Sekejap setelah kudapatkan novel-novel cantik itu, aku langsung melahapnya. Sepanjang isi cerita, yang terbayang malah wajahmu, si pemberi. Bukan hanya itu, hal yang lebih spekatekuler adalah surat. Ya, tahukah kau bahwa pada salah satu novel itu ada sebuah amplop dan ternyata ada isinya juga? Tahukah kau apa isinya? Kau tentu, pasti, tidak tahu. Kau memang seolah-olah tidak pernah mempedulikannya. Tapi isi surat itu, sangat kamu. Lagi-lagi, sengaja tidak sengaja, seperti kamu yang melakukannya, secara sengaja.

Kamu memang bukan yang pertama bagiku. Kau juga tahu itu kan? Tapi somehow aku merasakan energi yang kuat bahwa kau adalah cinta pertamaku. Ini lucu! Lalu siapa yang sebelum-sebelumnya? Cinta monyet? Bisa saja. Hatiku berkata, padamu ada yang berbeda. Yang tak biasa. Darimu aku mendapatkan segalanya yang belum pernah kumiliki. Kau (kuanggap) adalah yang pertama bagiku, lalu apakah kau berani jamin bahwa aku adalah yang terakhir bagimu? Itu yang sampai sekarang meninggalkan perih disini, di tempat yang dalam sekali. Yang masih belum bisa kau jangkau.Yang belum bisa seutuhnya menerimamu.

Tadi, aku melirik jam. Muncul sesuatu disana. 16.16 WIB. Bisakah kau jelaskan sesuatu padaku apa artinya itu?

Soulmate

Belahan jiwa. Ya, biasa kita sebut dengan Soulmate. Menurutmu apakah soulmate itu betul adanya? Apakah setiap orang pasti punya soulmate? Apakah soulmate yang ditakdirkan untuk kita hanya satu jumlahnya? Tak akan pernah ada habisnya aku bertanya dan tidak ada satupun yang terjawab. Soulmate adalah sebuah misteri.
Soulmate itu berbeda dengan  jodoh. Setiap orang terlahir sudah dengan jodohnya masing-masing. Tapi jodoh belum tentu jodoh. Sedikit menimbulkan komplikasi memang. Tapi begitulah kenyataannya. Tak sedikit pasangan yang katanya berjodoh, tetapi tidak pernah mendapatkan feel-nya. Banyak pria-wanita yang menikah, akhirnya cerai juga. Bukankah mereka menikah karena saling cinta? Tidak ingin berpisah satu sama lain? Namun mengapa bisa bercerai? Banyak pasang kekasih yang  bertahun-tahun menjalani hubungannya, tapi salah satunya tetap merasakan kesepian. Apakah itu jodoh? Lalu siapakah jodoh?
Perasaan nyaman ternyata tidak hanya datang dari pacar. Kedekatan kadang terasa lebih intens bukan hanya dari pacar. Teman laki-laki yang sejujurnya tak pernah bisa kau miliki tetapi membuatmu selalu menjadi merasa jauh lebih baik. Pernahkah kau menyadarinya? Bahwa terkadang teman lawan jenis itu lebih ‘menyenangkan’ dibanding pacar sendiri. Mungkin itulah alasannya mengapa banyak gadis cantik yang tahan melajang bertahun-tahun. Seperti penulis 🙂
Teman tapi mesra. Berkali-kali kau pikirkan ya tetap saja hubungan ini hanya sebatas teman. Tak bisa berlanjut dan memang tak ingin dilanjutkan, karena itu adalah zona nyaman. Tapi apakah mereka yang disebut sebagai soulmate? Yang cocok dan klop sekali dengan kita. Yang mengerti apa yang kita inginkan. Yang selalu ada di saat kita butuhkan. Benarkah soulmate itu bukan cinta? Benarkah soulmate itu ada? Dan benarkah setiap orang punya soulmate yang berbeda dengan yang diinginkan?
Ah, tak peduli apakah ia soulmate atau apa. Dia begitu melengkapi dan selalu mengobati. Tentu, dia juga tidak menyakiti. 
Salam untuk soulmate alias belahan jiwa.
Dari,
Belahan jiwamu yang lain.

99 Khianat Kami pada Ramadhan

Demi Nama Langit dan Bumi, sepertinya semua orang bahagia menyambut datangnya bulan barokah ini. Tapi ya Allah, mengapa dosa itu selalu ada saja yang kami perbuat? yang mereka perbuat?
Ya Rahman, maafkan hamba yang tak bisa berbuat apa-apa di saat rumahMu kosong kala tarawih. Di hari pertama, mereka membludak hingga ke lapangan persis seperti solat Idul Fitri. Namun ketika aku menghitung hari bahkan hanya dengan sebelah tangan,  jangankan lapangan, shaf kami saja sudah tak penuh. Apa kabar mereka di rumah? Sedang apa? Semoga sehat dan atau dengan ibdah lainnya. Ya, kami tidak tahu.
Ya Rahim, belum habis emosiku terpancing karena masjid yang seolah tak dihargai, sekarang ibu-ibu keras kepala itu meningkatkan darahku. Bagaimana bisa mereka shalat dengan shaf pertama kosong dan bolong-bolong? Tidak ada yang mau memindahkan kakinya barang selangkah demi meraih pahalamu. Aku sudah baik-baik mengajak mereka, penuh senyum dan kesabaran. Tapi mereka lebih memilih untuk sholat di sisi jalan, dekat angin alasannya. Kenapa nggak sekalian sholat di tengah lapangan aja?
Ya Maliq, di saat aku sedang melaksanakan solat tarawih, mengapa bisa seorang ayah yang seharusnya menjadi panutan malah santai-santai di rumah? Kemana teori seolah benar yang selalu dilontarkannya? 
Ya Quddus, ketika adzan Maghrib berkumandang, kakak si jago makan itu semangat empat lima menyantap semua yang ada. Puasanya full lagi, tentunya. Tapi aktivitas makannya terus berlangsung hingga adzan isya, lantas untuk apa puasanya?
Ya Salam, memang sholat tarawih itu sunnah hukumnya. tapi bukankah hanya setahun sekali dan seharusnya ummat bangga jika bisa merasakannya? Tapi mengapa kakakku tak rela meninggalkan kesempatannya demi seorang pacar? Telepon berjam-jam dengan nada khas lemah manja kekanak-kanakan. Ya itu, kakakku yang paling dewasa.
Ya Mu’min, setiap siang, aku berusaha menelusuri tiap butir ayatMu, sebisaku. Di detik yang sama, rumahku sepi, bukan karena tak ada orang. Tapi mereka sedang tidur. Jika tidur adalah ibadah, tolong katakan padaku apakah tidur dari habis subuh hingga maghrib itu adalah ibadah? Ayahku mengajariku begitu, lewat sikapnya. 
Ya Muhaimin, puasa itu seharusnya bukan hanya menahan lapar dan haus kan? Tapi kenapa teman-temanku hanya menahan lapar di perutnya? Mengapa mereka tak menahan lapar nafsu mereka? Kedua tangan yang bertaut mesra, kedua bibir yang bersatu seolah tak berdosa. Kalau memang mau berbuat dosa, bisakah mereka tidak mengotori bulan ini? bulanku? jika mereka tidak mau mengakui.
Dari kesemua itu, aku benci diriku yang ternyata juga tidak bisa berbuat apa-apa. Yang sibuk mengurusi keburukan orang lain sehingga lupa dengan yang kumiliki. Ampuni aku (lagi).

Elia

Namanya, Elia. Setiap hari ia selalu duduk murung di sudut taman baca. Gadis delapan tahun itu kadang tak baca buku, hanya duduk disana dengan kaki dilipat dan kedua tangan yang mendekapnya, persis seperti orang kedinginan dan ketakutan. Dulu, ia banyak bicara. Semua pasti kenal Elia yang setiap ada acara ulang tahun selalu maju untuk mengajukan diri sebagai pengisi acara dengan hanya bernyanyi asal-asalan, sering juga dia iku bermain di lapangan dan selalu menenangkan anak-anak yang berkelahi. Elia seperti malaikat kecil di komplek ini. Anak pintar, berasal dari keluarga kaya, disayang semua orang, semua pasti iri ingin menjadi seperti dirinya, ia percaya bahwa ia adalah anak paling bahagia sedunia. tapi semua tak sama lagi semenjak kematian ibunya bulan lalu.
“El, ngapain disini? taman bacanya sudah mau tutup lho,” aku akhirnya memberanikan diri untuk menegurnya. Biasanya, usahaku sia-sia. Elia tidak pernah menjawab apalagi mengenok barang sedikit. Ia hanya mengangguk tersenyum, ya aku tau senyum itu paksa. Tapi mengapa anak seusia dia bisa sekuat ini? Bisa bersikap seola-olah tidak pernah terjadi apa-apa?
Dua menit…
Tiga menit…
Seperti biasa, Elia hanya menunduk dan diam. Ya sudahlah, mungkin malam ini aku menginap saja disini sampai ia mau pulang. Langkahku baru saja mau beranjak,
“Bu, jangan tinggalin Elia!” tiba-tiba Elia memelukku erat dari belakang. Tangannya tepat sekali melingkar di pinggangku yang kecil. Ia terisak. Baru kali ini aku lihat dia menangis. Segera saja langsung kuajak ia duduk di sofa. Tangannya mencengkramku kencang sekali, gemetaran. tangisnya tak mau berhenti.
“Elia kangen Bunda ya?”
tebakku. Elia menggeleng, membuatku kaget. Lalu apalagi alasan ia menangis? Apa ia sudah tahu yang sebenarnya?
“Elia nggak punya siapa-siapa lagi sekarang,”
“Kok kamu ngomong gitu?”
Elia menangis tersedu. Napasnya tidka teratur hingga sulit berbicara.
“Elia bukan anaknya ayah dan bunda kan, Bu? Iya kan?”
Jlebb!! Seperti ditusuk pedang, hatiku miris mendengarnya. Bagaimana ia bisa tahu?
“Kata siapa? Elia anak ayah dan bunda kok!”
“Ibu nggak usah bohong!”
Elia melepas genggaman tangannya.
“Elia tau kan kalo ayah sayang banget sama Elia?”
Elia menggeleng.
“Setiap malam setelah kematian Bunda, ayah yang mengecek kami ke kamar masing-masing,dan ayah selalu melewati kamarku, yang letaknya di tengah-tengah!”
Aku diam. Hanya karena hal sepele seperti ini ia bisa tahu?  Sang ayah begitu lalai  membagi kasih sayangnya. Sang ayah lupa bahwa Elia anak yang cerdas, yang sejak dulu siapapun di komplek ini ingin mengadopsinya, termasuk aku dan suamiku.

“Sepandai-pandai tupai melompat, pasti akan jatuh juga,”

Real But Fake

Benar-benar tidak masuk akal. Bayangkan saja, mana ada dongeng yang nyata? Sungguh. Aku bahkan tak pernah berpikir bahwa kemalangan itu benar-benar ada. Bermenit-menit aku mencoba sadar, teryata memang bukan mimpi. Aku bisa saja mengangguk, menganggap semuanya baik-baik saja. Apalagi pura-pura tak pernah terjadi apapun dan langitku tetap biru seperti biasanya. Andai. Sayangnya, semua tak lagi sama. Meski aku tak kehilangan apapun, tetap saja, fakta ini membuat ada yang hilang dari bagian pemikiranku. Hatiku, terutama.
Yang aku tak habis pikir, bisa-bisanya rahasia ini dengan sangat rapih tidak tersentuh sama sekali. Aku tak pernah curiga, menyadari saja tidak. Saat ini semua terasa bagai hal yang tidak mungkin. Sekuat apapun, sepintar apapun, aku bahkan tak bisa menyadari cerita ini adalah sungguhan adanya. Hati rasanya tercekik bila memori ini mencoba mengalkulasi kenyataan.
Sehari semenjak kejadian itu, aku bagai tak bergairah untuk hidup. Dari jam-ke-jam yang terasa seperti mimpi. Mungkin ini efek dari ketidakpercayaanku yang keukeuh beranggapan bahwa ‘ini’ bohong. Seperti biasanya, aku selalu bisa menyembunyikan segala hal yang menurutku tidak perlu orang lain tahu. Aku tersenyum, bercanda, bahkan meledek teman-teman kebiasaan burukku. Sesekali jika kudapati kesendirian, aku kembali ingat pada hal yang sudah kujanjikan tak akan aku ingat agar tak mengganggu konsentrasiku. Tapi percuma, toh memang aku berbohong saat itu.
“Tumben pulang jam segini? Nggak BEM?” seorang teman memergokiku ketika ingin keluar gedung kampus.
“Iya. Pengin cepat-cepat pulang,” aku jujur bukan? Memang aku ingin cepat pulang, ingin sendiri, ingin menangis. Kedengarannya memang melankolis sekali sampai harus meluangkan waktu untuk bersedih-sedih bombay atau mungkin terkesan berlebihan. Tapi diriku butuh waktu untuk menerima keadaan yang barukarena terpaksa. Yeah, the only one i need is being alone, right now.
Rasanya ingin sekali berjalan kaki dan mengunjungi danau UI untuk menenangkan diri. Namun sepertinya itu bukan cara yang tepat mengingat kondisi mental yang sedang sangat buruk hingga mencapai dasarnya. Yang ada nanti aku malah ingin menenggelamkan diri ke dalam danau membiarkan para ikan-ikan dan buaya ―kalau ada― untuk memakanku agar aku enyah tak berbekas. Atau mungkin tempat yang paling dekat untuk dikunjungi, yaitu jembatan Teksas. Mudah dikunjungi dan mudah untuk bunuh diri bagi siapapun―setidaknya, bisa berlaku padaku, yang suka melakukan hal-hal tidak masuk akal jika sedang ada masalah berat. Tentu saja, aku tidak ingin menjadi berita utama di koran edisi esok pagi. Apalagi mati dengan cara tidak terhormat seperti ini. Amit-amit.
Akhirnya Bikun―singkatan untuk Bis Kuning― tiba. Aku mantap untuk menenangkan diri di kost saja. Di UI ada dua jenis Bikun, merah dan biru. Pembagian kategori ini berdasarkan rute bikun yang berbeda. Siapa peduli jika kost-ku bisa dilalui oleh bikun mana saja. Maka aku berhasil naik ke bikun yang pertama muncul ketika aku menunggu di halte tadi, Bikun Merah. Memang rutenya lebih jauh. Tapi hatiku malah membatin puji syukur ketika mengingatnya. Ekspektasiku saat itu adalah duduk lama di bikun keliling melihat berbagai pemandangan UI yang hijau dapat membuat hati lebih tenang.
Di setiap halte tempat Bikun berhenti, selalu ada saja penumpang yang naik. Mereka bermcam-macam, dari mulai yang mahasiswa, dosen, hingga warga sekitar yang rumahnya di belakang kampus UI. Begitu banyak orang dihadapanku, mereka beragam. Lagi-lagi, kediaman membuat aku kembali teringat dengan kegalauan diri. Sebuah pertanyaan besar yang muncul dalam hatiku dan cukup membuat hati mengkerut, yaitu, begitu banyak orang disini, tapi kenapa harus aku (lagi) yang merasakan masalah seberat ini? Sayangnya, aku tak bisa mendengar Tuhan. Yang kuyakini, Ia pasti tertawa di sana mendengar pertanyaan bodohku. Andai dia menjawab, semua orang punya masalah masing-masing, Nda. Tak ada yang tak punya masalah, aku sudah siap dengan pertanyaanku yang kedua, lalu mengapa jatah dan kadar masalah itu tidak dibagi secara rata ke semua orang? Kenapa harus aku lagi? Penderitaanku sudah cukup banyak!
Sayang sekali, Tuhan tak bisa dituntut. Sisi baiknya, datangnya masalah ini membuatku sadar betapa hebatnya Tuhan telah merancang skenario hidup kita yang tak pernah bisa kita bayangkan. 
“God knows the best.”
Me