Dunia maha luas dengan galaksi bima sakti tanpa batas. Semua ada di sana, dari zat terbesar serupa matahari bahkan yang terkecil sekali pun seperti mikroorganisme. Dunia angkasa selalu menarik. Begitu banyak orang menerka-nerka apa yang sebenarnya ada di sana. Tak ada yang bisa menjamin telah melihat rupanya dengan nyata, selain dari visualisasi film atau pembelajaran di buku sains. Semua ada di langit, apa-apa yang tidak ada di bumi. Delapan planet, sebuah planet kecil yang telah dikeluarkan dari keluarga tata surya, dan ratusan planet kerdil lainnya. Semua ada di sana. Namun, sama seperti di bumi, mungkin saja ada banyak debu-debu kasar yang beterbangan di angkasa, yang sebenarnya adalah puing-puing meteor yang ukuran terkecilnya serupa batu kerikil.
Debu-debu kasar itu terkadang mengikuti bulan mengelilingi orbit, tak jarang juga ia terpental satelit dan menjadi benalu baginya. Terpelanting. Terpecah belah menjadi serpihan tanpa rupa. Berkali-kali berdoa dan berusaha agar mampu bersanding dengan berputarnya para planet dalam tata surya. Setidaknya mengaku tidak mampu menyaingi rotasi mereka.
Debu-debu kasar itu berkali-kali jatuh, terseok. Perlahan terburai dengan pecahan-pecahan yang cacat dan melukai. Berapa kali pun ia berusaha berlari mengejar Venus, kutub di belakangnya dengan kuat menarik. Ia tetap berjalan, tetapi mundur. Tidak sesuai dengan apa yang diinginkannya. Orbit menjadi terbalik. Jalurnya menjadi mustahil untuk ditapaki. Lubang hitam yang teramat besar itu selalu berusaha menyedot mereka serta-merta. Dengan segala cara. Black hole adalah momok bagi semua makhluk di angkasa. Ia bisa berbentuk apapun, dari mikroskopik sampai ke ukuran alam raya. Massanya tak jua mampu diterka, bermassa bintang atau lebih. satu yang pasti tentang dirinya, Ia mampu menyerap apapun di sekitarnya dan tidak akan pernah mengembalikannya lagi. Namun debu-debu kasar itu bisa apa? Memaki matahari karena tetap diam saja menyinari dunia tapi tidak membantunya? Atau menuntut bulan yang mesikpun terlihat ramah ternyata ia tidak peduli karena terbiasa melakukan segalanya sendirian?
Debu-debu kasar itu menangisi takdirnya. Merasa menjadi makhluk paling menderita. Namun, apakah Merkurius tidak pernah menangis karena diciptakan sepanas api, sehingga tidak ada yang mau menempatinya? Juga Saturnus, meski terlihat cantik ternyata berbahaya untuk makhluk apapun mendekatinya? Apakah bumi tidak pernah merasa terluka karena pengabdiannya untuk menjadi tempat tinggal yang nyaman bagi manusia hanya dibalas air tuba? Debu-debu kasar itu tahu setiap makhluk memiliki duka-sukanya. Lalu, mengapa ia terus-terusan terlarut dalam kecewa? Debu-debu kasar itu kehilangan jiwa dan akalnya. Tanpa jati diri. Bertanya-tanya, sebagai makhluk yang tiba-tiba diciptakan di bumi tanpa bisa memilih asal-usul idamannya. Apakah penghuni langit lainnya diijinkan untuk memilih takdirnya saat mereka masih di dalam rahim Sang Pencipta? debu-debu kasar sadar akan pernyataan itu. Ia juga kerap kali mempertanyakannya. Lalu mengapa ia tidak berhenti merasa khawatir dan terus bertanya?
Debu-debu kasar itu tidak pernah tersadar. Debu-debu halus di bumi begitu memujanya dari kejauhan. Karena mereka tak dapat terbang, mereka malah terbiasa diterbangkan secara tidak sengaja. Berpindah tempat dari satu ke yang lainnya. Tempat yang kotor dan usang, atau gelap dan terpencil. Debu-debu di bumi begitu iri, karena debu-debu di angkasa diciptakan dengan rupa kasar yanag kokoh dan kuat meskipun terhantam komet berkali-kali. Sementara debu-debu halus di bumi hanya mampu terinjak. Dan terusir bahkan dengan hanya tiupan angin.
———
Ternyata, ada keraguan yang tidak pernah terpikirkan debu-debu kasar. Ada juga jawaban yang tak pernah diketahuinya. Ia selalu terpaku pada pemikirannya sendiri dan meragukan jawaban yang sudah ia temukan. Menutup kesempatan untuk peluang jawaban lainnya. Jawaban yang mungkin saja selama ini dicarinya.