GOJEK Love at first ride

Akhir-akhir ini marak sekali terlihat ijo-ijo di jalanan. Bukan abri, bukan hansip. Tapi driver Gojek. Banyak sudah terdengar berita perseteruan antara gojek dengan ojek konvensional terkait kehadiran gojek yang dianggap ‘ngembat’ rejeki orang. Padahal, pelanggan gojek dan kang ojek jelas berbeda. Untuk naik gojek kita harus order via application di smartphone. Sedangkan tidak semua orang dan kalangan paham dan nyaman menggunakan aplikasi di ponsel. Pada umumnya pelanggan gojek berusia pelajar hingga karyawan. Logikanya, pasar kang ojek masih lebih besar. Tapi jangan salahkan Bunda mengandung. Banyak orang yang mulai belajar menggunakan aplikasi gojek di HP karena naik gojek dirasakan jauh lebih menguntungkan. Tidak sedikit driver gojek dilabrak kang ojek, bahkan ada yang motornya dirusak. Indonesia sebagai negara berkembang ternyata masih belum siap keluar dari zona aman dan mengikuti perkembangan teknologi yang dinamis. Inovasi yang tidak beriringan dengan kesiapan SDM-nya.
Ah….ngomong panjang lebar. Nyobain naik gojek aja belum pernah, Nay!!
Nah…beberapa hari lalu saya harus ke kampus, tapi pangeran berkuda mio berhalangan mengantar-jemput. Saya senang! Karena akhirnya punya kesempatan mencicipi gojek. Saya download dulu aplikasinya, agak malas sebetulnya, dugaan saya pasti banyak yang harus diinput. Ternyata nggak ada 3 menit…. Saya sudah bisa order Gojek!
Promo ramadhan Gojek (Rp.10.000 ke mana saja di bawah 25 km) amat sangat dipuja-puja masyarakat khususnya saya. Siang itu saya dari Cempaka Putih berniat ke kampus di UI, Depok. Berhitung, berhitung, ternyata 25 km hanya sampai Tanjung Barat. Maka saya cantumkan tujuan hingga stasiun terdekat. Seorang driver Gojek tiba di depan rumah saya dan dengan sopan bertanya tentang pemesan bernama Naya. Dia Ilcham Angga Wijaya, my first Gojek in life. Orangnya ramah dan menyenangkan sekali diajak ngobrol. Kami nyambung! Segera saya lancarkan begitu banyak pertanyaan yang menumpuk di otak mengenai Gojek. Sepanjang jalan kami berdiskusi banyak hal. Dahaga keingintahuan saya pun terpuaskan. Menjadi driver Gojek tidak banyak persyaratan, yang penting usia dewasa di bawah 50 tahun dan memiliki motor dengan kondisi sehat. Dalam artian bukan hanya fisik mesin saja yang aman untuk menjamin keselamatan penumpang. Tetapi SIM dan pajak motor harus aktif dan tidak boleh mati bahkan sehari saja. Standar membawa kendaraan bermotor seharusnya memang begitu bukan?
Mas Ilcham rela resign dari perusahaan tempat ia bekerja dan melamar jadi driver Gojek dengan alasan, penghasilannya bisa menjadi dua kali lipat lebih banyak. Bahkan sekarang dia sudah menjadi pengusaha kuliner dan memiliki karyawan. Ya, ia bangga dengan profesi utamanya kini sebagai seorang driver Gojek. Salut!
Kurang dari satu jam, kami sudah tiba di tempat tujuan. Mas Ilcham hati-hati sekali membawa saya, padahal saya maunya diajak ngebut he..he…Ketika di Tj. Barat, tahu-tahu sang driver tidak berhenti di tempat yang disepakati sejak awal. Lho…lho…kok jalan terus, Mas? Dia bilang, “Mbak, mau ke UI kan? Tanggung saya antar aja,”. Dengan bayaran yang sama alias promo Rp.10.000,- Mas Ilcham mengantarkan saya sampai kampus. Jelas ia tidak akan mendapatkan keuntungan dari kantor Gojek bila mengantarkan saya lebih jauh lagi. Saya jadi enak nggak enak, bayangkan total perjalanan kami 35 km! Dari Cempaka Putih yang hampir Jakarta Utara hingga ke Depok saya hanya perlu mengeluarkan ongkos sepuluh ribu rupiah saja. Duh terharu….
Gawat. Saya kecanduan Gojek!
Hari-hari berikutnya, saya tidak terpikir tranpsortasi lain untuk dipilih selain Gojek. Driver Gojek ramah-ramah, rapi, dan hati-hati sekali dalam membawa penumpang. Padahal mereka tidak ditraining berminggu-minggu dahulu sebelumnya, langsung turun ke jalan setelah lolos tahap pemeriksaan motor. Hal lain yang saya kagumi dari driver Gojek adalah solidaritas mereka antar sesama. Ketika berpapasan dengan pengguna jaket dan helm berwarna sama, mereka langsung saling menyapa atau minimal membunyikan klakson sebagai tanda “kulonuwun”. Padahal mereka tidak saling kenal.
Gojek adalah sebuah inovasi cerdas seorang pemuda lulusan Master Harvard University yang tidak mau bekerja kantoran dan mau membuka lapangan kerja sendiri. Jelas, Gojek berhasil menjadi solusi bagi salah satu problema ibu kota yang tak kunjung mampu diuraikan pemerintah; kemacetan. Siapa pun dia, ada begitu banyak masyarakat di luar sana yang mendoakannya. Terpujilah penggagas Gojek dan seluruh armadanya!
Salam hijau penuh damai,
A Gojek Freak.

Hidup Merdeka

Hidup harus waspada. Ternyata, tidak bisa kita sepenuhnya percaya pada orang lain selain diri sendiri. Di luar sana orang-orang tak hentinya mengurusi hidup kita, seolah hidupnya sudah sempurna. Atau memang karena dalam hidupnya banyak waktu sia-sia maka mereka berpusing-pusing mencemaskan orang lain.

Hidup harus waspada dari pikiran negatif yang disesapkan orang lain. Baik hati dan pikiran kita seringkali dibombardir pemikiran yang tak benar pun tak baik. Untuk adu domba, bahkan agar menghambat perkembangan pribadi. Memelihara dengki adalah langkah awal yang menghancurkan. Dan pada dasarnya kesuksesan kita akan membuat orang lain iri hati, pula kehancuran kita akan dirayakan oleh sebagian orang yang tak kita ketahui.

Hidup harus waspada dari cibiran buruk antar sesama yang hinggap ke telinga kita. Konsepnya, semua orang memiliki prinsip sama dalam hidup, sebaik-baiknya manusia (harusnya) adalah diri sendiri. Masing-masing mereka benar dengan argumennya. Dan setiap mereka punya kekurangan yang ditutupinya dengan menceritakan kekurangan orang lain, itu tadi, seolah ia sempurna.

Hidup harus merdeka dari semua yang tak perlu bagi diri kita. Termasuk apa kata manusia di luar sana tentang kita. Selama benar dan berguna, jangan pernah henti bekerja. Hidup adalah tentang mengeja makna, akan selalu ada suka dan air mata, tapi yang terpenting harus sejahtera.

Tuhan, lindungi aku dari marabahaya mulut-mulut manusia dan dengki antar saudara. Sungguh, aku hanya segelintir nyawa yang ingin hidup sederhana dan bahagia.

Dia Devina

Ini kisah nyata.
Alkisah, ada seorang wanita muda bernama Devina Sagita Ratnaningtyas. Nama yang indah, seindah hidupnya. Oh jangan ditanya. Hidupnya sempurna, ia sosok sempurna. Orang tuanya adalah yang paling berpunya dalam tatanan keluarga besar Chanafy. Ayahnya adalah bagian penting dari perusahaan energi di dunia, Chevron. Ibunya berwirausaha dan mandiri. Cantiknya indonesia. Manis dengan kulit sawo matang yang cukup. Tubuhnya jenjang dan bugar. Terlebih lagi tutur kata dan tingkah lakunya penuh keanggunan dann santun. Pokoke ayune puol. Gadis keturunan Jawa Tengah yang memenangkan hidup kota metropolitan.
Kecerdasan yang ia miliki berbanding lurus dengan dewi fortuna yang membuntutinya. Selalu menjadi juara pada sekolah-sekolah favorit ibu kota, lalu mendapat beasiswa di Fakultas Hukum universitas terbaik se-Indonesia. Kemudian lulus tepat waktu dengan nilai membanggakan. Tak lama setelah itu, berkesempatan melanjutkan pendidiikan S2 di kampus yang sama. Sambil mengajar les piano sebagai salah satu keahliannya sejak kecil. Devina piawai menari-menarikann jemari di atas tuts  piano dari konser ke konser bak maestro.
Tak lama kemudian, Negara menyebut namanya sebagai salah satu yang terpilih menjadi pegawai Dirjen Pajak Kementrian Keuangan. Posisi dengan gaji paling banyak di antara seluruh Pegawai Negeri lainnya. Tidak perlu susah payah ke pelosok Indonesia, ia ditempatkan di kota Serang. Masih satu propinsi dengan tempat tinggalnya, Propinsi Banten. Diterimanya ia di Kemenkeu hanyalah satu dari rangkaian kado dari Tuhan di ulang tahun ke 24. Sebuah mobil Livina diberikan sang kekasih untuk mempermudah akses transportasi. Juga sebagai modal awal untuk meminangnya sebagai istri.
Devina akan menikah tak lama lagi. Dipersunting seorang pengusaha yang merupakan putra tunggal sebuah keluarga terpandang bibit, bebet, dan bobotnya. Seorang anak Jaksa terkemuka. Maka, pada hari besarnya itu semua orang berbahagia. Semuanya tanpa terkecuali. Rangkaian pernikahan di buat menjadi empat hari di empat tempat berbeda. Betapa ayunya ia dalam balutan adat jawa yang sesuai dengan darahnya. Sungguh sedap dipandanng mata. Royal wedding yang tak kunjung usai, bahkan Walikota Banten turut datang memberi ucapan selamat. Masih segar dalam ingatanku pernikahan merekka berlangsung beriringan dengan Raffi Ahmad dan Nagita Slavina. Namun bahkan jauh…. Jauh…. Lebih mewah dan sakral dari mereka. Bukan soal angka, meskipun tetap saja mahal pastinya. Tetapi soal perayaan itu. Semua lapisan turut bersuka cita. Semua berbahagia.
“Jangan pernah mama bandingkan aku dengan dia ya. Kami berbeda. Sangat berbeda. Takdir kami berbeda.”
Demikian aku selalu menutup cerita mama seputar perkembangan mengenai seorang Devina. Tapi pagi ini dengan tergenang air mata, mama menceritakan hal berbeda.
Mama berapi-api menceritakan Devina tentang rumah barunya di Serang sana. Yang meski dengan kekayaan orang tuanya, ia memilih mengontrak di sana. Hey, bahkan dia sudah punya rumah di Bogor sana. Mama tak menggubris. Kembali bercerita soal perabotan rumah tangga yang dibelinya satu per satu tanpa meminta sepeser pun uang ayah ibunya. Bahkan mau mempriksa kehamilan setiap bulannya di rumah sakit kecil dan bukan RS. Pondok Indah langganann keluarga.
Terang saja mama begitu membanggakan Devina. Sebab sejak kecil ia yang mengasuhnya. Dua tahun kemudian, tepat saat Devina merayakan ulang tahunnya yang kedua, lahir lah aku. Yang kemudian dicita-citakan untuk menjadi Devina berikutnya. Devina selalu menjadi panutan di antara sepupu-sepupu lainnya dan bahkan siapa saja.
Sampai siang cerita mama bergema di kepalaku. Tentang kerendahan hati Devina yang tak pernah kuketahui. Mungkin selama ini rasa simpatiku sudah tertutup rasa iri akibat mama selallu memanas-memanasi. Tapi bagaimanapun berkilah, itulah faktanya. Devina seorang wanita sempurna luar dan dalam. Cantiknya juga demikian, luar dan dalam. Sepertinya, aku tahu apa yang selama ini membuat ia bersinar benderang dengan seluruh prestasi dan kesuksesannya.
Sama halnya seperti Raffi Ahmad yang mampu menggelar pesta pernikahan sedemikian mewahnya. Raffi dan Devina diberkahi Tuhan, karena keduanya begitu menyayangi orang tuanya. Sederhana, tapi nyatanya tak mampu dilakukan kebanyakan anak di luar sana: membahagiakan dan menomorsatukan orang tua.
Tuhan Maha Adil.

Copy Paste Mama

Kira-kira sudah berapa pekan aku tidak pulang ke rumah. Rasa kangen mama itu sudah lama menggunung dan beku di dasar hati. Gengsiku tak tertandingi, gengsi mama sama kuatnya. Kami seperti Hujan dan Teduh yang tak pernah mau bertegur sapa, padahal saling membutuhkan dan sudah diciptakan satu paket.
Tidak terkira, pertengkaran dengan mama selalu aku menangkan dengan cara kejam. Di akhirnya mama bisa menangis sambil muntah-muntah, atau tiba-tiba pingsan di tengah sumpah serapahnya. Semesta seolah mengutukku sebagai anak durhaka. Ini tidak adil. Mama selalu mencuri ending yang mengenaskan. Sering kali aku membayangkan kemungkinan bila aku yang muntah-muntah dan pingsan? O Moin Dieu. Tak akan ada yang peduli. Sayangnya mama selalu punya kubu yang melindunginya.
Terkadang aku menyesal dengan sikapku pada mama, terkadang aku juga bisa merasakan mama menyesal atas sikapnya terhadapku. Tidak ada yang berniat bicara dari mata ke mata. Apalagi kataa maaf. Meminta maafnya mama adalah saat ia masuk ke kamarku dan bertanya, “Sudah makan?”.
Aku amat membenci diriku sendiri ketika meninggalkan luka di kedua matanya. Dan ia juga pasti mengiba tatkala menangkap duka pada raut wajahku. Kami adalah objek cermin dan pantulannya, yang sering kali tak mau melihat satu sama lain. Yang padahal tak dapat dipisahkan. Aku membenci mama, aku benci cara ia membesarkanku. Kami berbeda, tidak lah sama.
Boom!!
Suara bantingan pintu itu membuat selembar foto usang di tanganku jatuh ke lantai. Aku kenal pintu itu, suara salah satu pintu di kamar atas. Kusimpan sepotong gambar wajah mama dan ak yang sedang saling berpelukan sebelum akhirnya aku naik ke lantai atas. Menghampiri sumber suara.
Krek.
Pintu tidak dikunci. Namun bantingan tadi membuat engselnya kendur.
Michella terbenam di antara selimut yang berantakan. Aku yakin ia menyadari kehadiranku saat ini, tapi enggan bertatap mata. Aku berniat meminta maaf, tapi urung.
“Sudah makan, Nak?”
Michella bergeming. Malah menyembunyikan diri ke balik selimut rapat-rapat. Hatiku terasa remuk. Ada sengatan listrik yang menjalar di tubuhku dan membuat ingin menangis. Aku diacuhkan anakku sendiri, atas pertengkaran tadi pagi. Detik itu, aku bagai terjungkal ke mesin waktu. Adegan ini, seperti de ja vu. Tidak mungkin. Aku telah meniru mama persis sama. Benar-benar sama. Tidak mungkin kami sama. Aku benci cara ia membesarkanku. Mustahil aku malah menirunya.
Kepalaku tiba-tiba terasa sakit. Perutku mual. Aku muntah-muntah tanpa sebab. Dan tak lama setelah itu aku pingsan tak sadarkan diri.
Di dalam gelap itu, aku menemukan wajah mama tersenyum bijak penuh kemenangan.

Overthinking, Regrets, dan Kierkegaard

Suatu waktu, saya merasa kepala ini akan meledak. Saking banyaknya kalimat-kalimat bermunculan di dalamnya. Saya kewalahan dengan otak saya sendiri dan kelelahan. Suara-suara itu bermunculan, saling sahut. Bergema di kepala, mendengung di telinga, dan meninggalkan pening yang seringkali membuat saya merasa ingin pingsan. Biasa terlalu banyak berpikir seperti ini sungguh melelahkan, pun saya sebenarnya tidak mau. Pikiran-pikiran ini menurunkan kantung mata saya lebih berat lagi, juga menghisap usia di wajah saya jauh dari yang seharusnya. Ini menyiksa. Teramat menyiksa.

Bahayanya, yang muncul di sana adalah hal-hal negatif, pemikiran busuk, celotehan hati yang tidak baik. Lama-lama saya bisa mati terbunuh semua pikiran negatif itu. Jika bisa, saya amat ingin membedah kepala lalu mengeluarkan otaknya, kemudian mencucinya dan terus begitu setiap kali saya baru saja berpikiran yang tidak baik. Mungkin bila dilihat dari sudut pandang berbeda seharusnya saya merasa bersyukur, saya memiliki kelebihan yang pasti orang lain tidak punya. Benak saya selalu kontra pada apapun yang saya temui untuk pertama kalinya. Luar biasa bukan? Dan saya tidak merasa bangga. Ini menyiksa. Teramat menyiksa.

Pikiran-pikiran negatif itu muncul keroyokan, seperti membujuk, terkadang malah memaksa dan membajak seuluruh isi otak dan hati. Pikiran-pikiran buruk tersebut selalu berakhir pada hal yang buruk pula. Membuat saya menyesali pernah menemukannya, hal yang memicu pemikiran buruk tersebut. Saya benci dengan sifat (atau penyakit?) saya yang satu ini. How do I regret everything I did? Sebab saya selalu menyesali apa yang saya ucapkan, sering kali saya berpikir lebih baik diam saja sepanjang waktu daripada menyesalinya di kemudian hari. Sebab lagi, berkata-kata secara verbal begitu menyulitkan. Haruskah saya berbahasa dengan tulisan ke mana pun saya pergi? My written words are always better and show the best. Bukan hanya sekali saya merasa saya memiliki kesulitan untuk berbicara dengan orang lain, untuk bersosialisasi. Terlebih lagi bila bicara soal hati.

Back to the topic. Di saat orang-orang berinteraksi satu sama lain, saya selalu sibuk berinteraksi dengan diri sendiri. Di saat orang-orang tengah memiliki konflik anatara satu dengan yang lain, saya masih memiliki konflik dengan diri sendiri. Saya tidak bisa melangkah ke manapun, hati dan otak saya seperti kaki-kaki yang dirantai. Saya benci diri saya sendiri. Saya benci dengan semua penyesalan-penyesalan yang terjadi. Tidak ada dari bagian masa lalu yang tidak saya sesali. Otak saya kemudian merepresi bagian-bagian itu, dengan cara men”delete”nya dari memori. Pada akhirnya, saya hampir melupakan hari-hari yang telah lalu. Sebab semuanya mengantarkan saya pada luka, karena semuanya berindikasi dengan penyesalan yang tidak ingin saya ingat lagi. Kebencian saya pada diri sendiri itu kemudian melahirkan kecenderungan untuk saya membunuh diri saya sendiri. Sudah berjuta kali rasanya saya mencoba untuk mati, baik sadar ataupun tidak. Beruntungnya, kesemuanya tidak pernah berhasil terlaksana. Sisi lain dari diri saya yang meskipun lemah seringkali memenangkan pertarungan. Meskipun selalu muncul belakangan. Setidaknya dia sudah menyelamatkan hidup saya hingga saat ini.

Terkadang, saya pikir saya sedang berada di sebuah anak tangga yang selangkah lagi menuju kehilangan jiwa. Saat di mana segalanya tidak akan lagi berakhir air mata, tetapi mendapat perlakuan khusus seperti “orang tidak biasa”. Saat di mana saya tetap mendapat bimbingan konseling jiwa, tetapi dengan cara berbeda, yaitu berseragam rumah sakit jiwa.

Seyogyanya, saya paham dengan konsep bahwa hidup adalah perjalanan. Show must go on. And we have to move on. Saya paham dengan semua teori tentang kehidupan. Sudah merasa paham hingga akhirnya memutuskan untuk khatam sekalian.

Apa yang harus saya lakukan? Saya kesurupan Kierkegaard. Atau Kierkegaard yang mencoba bereinkarnasi dalam tubuh saya?