A Gojek Freak.
GOJEK Love at first ride
A Gojek Freak.
Hidup harus waspada. Ternyata, tidak bisa kita sepenuhnya percaya pada orang lain selain diri sendiri. Di luar sana orang-orang tak hentinya mengurusi hidup kita, seolah hidupnya sudah sempurna. Atau memang karena dalam hidupnya banyak waktu sia-sia maka mereka berpusing-pusing mencemaskan orang lain.
Hidup harus waspada dari pikiran negatif yang disesapkan orang lain. Baik hati dan pikiran kita seringkali dibombardir pemikiran yang tak benar pun tak baik. Untuk adu domba, bahkan agar menghambat perkembangan pribadi. Memelihara dengki adalah langkah awal yang menghancurkan. Dan pada dasarnya kesuksesan kita akan membuat orang lain iri hati, pula kehancuran kita akan dirayakan oleh sebagian orang yang tak kita ketahui.
Hidup harus waspada dari cibiran buruk antar sesama yang hinggap ke telinga kita. Konsepnya, semua orang memiliki prinsip sama dalam hidup, sebaik-baiknya manusia (harusnya) adalah diri sendiri. Masing-masing mereka benar dengan argumennya. Dan setiap mereka punya kekurangan yang ditutupinya dengan menceritakan kekurangan orang lain, itu tadi, seolah ia sempurna.
Hidup harus merdeka dari semua yang tak perlu bagi diri kita. Termasuk apa kata manusia di luar sana tentang kita. Selama benar dan berguna, jangan pernah henti bekerja. Hidup adalah tentang mengeja makna, akan selalu ada suka dan air mata, tapi yang terpenting harus sejahtera.
Tuhan, lindungi aku dari marabahaya mulut-mulut manusia dan dengki antar saudara. Sungguh, aku hanya segelintir nyawa yang ingin hidup sederhana dan bahagia.
Suatu waktu, saya merasa kepala ini akan meledak. Saking banyaknya kalimat-kalimat bermunculan di dalamnya. Saya kewalahan dengan otak saya sendiri dan kelelahan. Suara-suara itu bermunculan, saling sahut. Bergema di kepala, mendengung di telinga, dan meninggalkan pening yang seringkali membuat saya merasa ingin pingsan. Biasa terlalu banyak berpikir seperti ini sungguh melelahkan, pun saya sebenarnya tidak mau. Pikiran-pikiran ini menurunkan kantung mata saya lebih berat lagi, juga menghisap usia di wajah saya jauh dari yang seharusnya. Ini menyiksa. Teramat menyiksa.
Bahayanya, yang muncul di sana adalah hal-hal negatif, pemikiran busuk, celotehan hati yang tidak baik. Lama-lama saya bisa mati terbunuh semua pikiran negatif itu. Jika bisa, saya amat ingin membedah kepala lalu mengeluarkan otaknya, kemudian mencucinya dan terus begitu setiap kali saya baru saja berpikiran yang tidak baik. Mungkin bila dilihat dari sudut pandang berbeda seharusnya saya merasa bersyukur, saya memiliki kelebihan yang pasti orang lain tidak punya. Benak saya selalu kontra pada apapun yang saya temui untuk pertama kalinya. Luar biasa bukan? Dan saya tidak merasa bangga. Ini menyiksa. Teramat menyiksa.
Pikiran-pikiran negatif itu muncul keroyokan, seperti membujuk, terkadang malah memaksa dan membajak seuluruh isi otak dan hati. Pikiran-pikiran buruk tersebut selalu berakhir pada hal yang buruk pula. Membuat saya menyesali pernah menemukannya, hal yang memicu pemikiran buruk tersebut. Saya benci dengan sifat (atau penyakit?) saya yang satu ini. How do I regret everything I did? Sebab saya selalu menyesali apa yang saya ucapkan, sering kali saya berpikir lebih baik diam saja sepanjang waktu daripada menyesalinya di kemudian hari. Sebab lagi, berkata-kata secara verbal begitu menyulitkan. Haruskah saya berbahasa dengan tulisan ke mana pun saya pergi? My written words are always better and show the best. Bukan hanya sekali saya merasa saya memiliki kesulitan untuk berbicara dengan orang lain, untuk bersosialisasi. Terlebih lagi bila bicara soal hati.
Back to the topic. Di saat orang-orang berinteraksi satu sama lain, saya selalu sibuk berinteraksi dengan diri sendiri. Di saat orang-orang tengah memiliki konflik anatara satu dengan yang lain, saya masih memiliki konflik dengan diri sendiri. Saya tidak bisa melangkah ke manapun, hati dan otak saya seperti kaki-kaki yang dirantai. Saya benci diri saya sendiri. Saya benci dengan semua penyesalan-penyesalan yang terjadi. Tidak ada dari bagian masa lalu yang tidak saya sesali. Otak saya kemudian merepresi bagian-bagian itu, dengan cara men”delete”nya dari memori. Pada akhirnya, saya hampir melupakan hari-hari yang telah lalu. Sebab semuanya mengantarkan saya pada luka, karena semuanya berindikasi dengan penyesalan yang tidak ingin saya ingat lagi. Kebencian saya pada diri sendiri itu kemudian melahirkan kecenderungan untuk saya membunuh diri saya sendiri. Sudah berjuta kali rasanya saya mencoba untuk mati, baik sadar ataupun tidak. Beruntungnya, kesemuanya tidak pernah berhasil terlaksana. Sisi lain dari diri saya yang meskipun lemah seringkali memenangkan pertarungan. Meskipun selalu muncul belakangan. Setidaknya dia sudah menyelamatkan hidup saya hingga saat ini.
Terkadang, saya pikir saya sedang berada di sebuah anak tangga yang selangkah lagi menuju kehilangan jiwa. Saat di mana segalanya tidak akan lagi berakhir air mata, tetapi mendapat perlakuan khusus seperti “orang tidak biasa”. Saat di mana saya tetap mendapat bimbingan konseling jiwa, tetapi dengan cara berbeda, yaitu berseragam rumah sakit jiwa.
Seyogyanya, saya paham dengan konsep bahwa hidup adalah perjalanan. Show must go on. And we have to move on. Saya paham dengan semua teori tentang kehidupan. Sudah merasa paham hingga akhirnya memutuskan untuk khatam sekalian.
Apa yang harus saya lakukan? Saya kesurupan Kierkegaard. Atau Kierkegaard yang mencoba bereinkarnasi dalam tubuh saya?