Jawaban Ibu

Kutanya pada ibu, kriteria bagaimana yang harus kupasang untuk bekal pencarian calon suamiku.

“Yang mampu dan mau mengerti keadaan kita.”

Tak ada pertanyaan kedua apalagi tiga. Air mataku jatuh setelahnya. Membungkam seluruh tanya.

Gunung Raung: Meraung-raung Menuju Sejati

Bagi saya, mendaki gunung bukan merupakan sebuah ambisi, melainkan sebuah hobi yang kebetulan dapat tersalurkan karena adanya ketersediaan waktu, uang, dan teman perjalanan. Pendakian terbaru ini dapat saya kategorikan sebagai sebuah pendakian dadakan. Semua berawal dari ajakan Jacklyn (partner nanjak Gunung Kerinci bulan Maret lalu, baca di sini) yang begitu tiba-tiba. Seharusnya bulan ini saya menginjakkan kaki di Gunung Tambora, tapi batal karena cancellation tim yang begitu tiba-tiba. Jadwal sudah terlanjur diluangkan, bisa saja alih destinasi ke tempat lain, tapi kalau alih destinasi menjadi ke Gunung Raung…… rasanya seperti tidak mungkin. Medan Gunung Raung yang terbilang ekstrim tentu saja yang menjadi alasan utama dari keragu-raguan itu. Batal Tambora dan malah jadi ke Raung, ngeri juga. Kalau bukan karena Jacklyn yang mengompori, mungkin saya tidak akan pernah menyambangi Puncak Sejati.

 

April – Arina – Vyna – Naya (- minus Jacklyn yang menyusul karena malam itu ketinggalan pesawat)

Disebabkan tidak ada kereta langsung dari Jakarta – Kalibaru (Banyuwangi), maka saya transit di Jogja terlebih dahulu (Flash tip: Kebanyakan orang melakukan transit di stasiun Surabaya Gubeng, khususnya bagi yang ingin naik pesawat). Kebetulan memang ada event yang harus disambangi di daerah Bantul, maka saya memutuskan untuk menetap di Jogja sampai akhirnya tiba hari H. Hurra!

Jika ingin langsung berangkat dari Jakarta, transit (di manapun) lalu sambung kereta ke Kalibaru, menurut saya akan sangat menghabiskan tenaga. Bayangkan, untuk perjalanan dari Jakarta ke Jogja saja membutuhkan waktu tempuh delapan jam dengan kereta, lalu dari Jogja ke Kalibaru menghabiskan waktu 14 jam, sehingga total menjadi 22 jam di kereta! Belum lagi jeda waktu transit bila jam keberangkatan terpaut jauh dengan jam tiba kereta sebelumnya. Jadi, saya tidak menganjurkan untuk kamu langsung transit seperti itu.

Saya berangkat dari Stasiun Lempuyangan, Jogja bersama Arina (@fasyaarina). Sri Tanjung membawa kami menuju stasiun Kalibaru, Banyuwangi selama 14 jam. Kami bertemu dengan teman-teman serombongan lainnya di stasiun Surabaya Gubeng. Belasan orang sudah berkumpul dan siap menjumpa puncak sejati. Terus terang, ini pendakian dengan rombongan teramai yang pernah saya lakukan, di gunung dengan tingkat kesulitan ekstrim pula. Namun asal semua dipersiapkan dengan baik saya rasa tidak ada yang perlu dikhawatirkan bila kita sudah berpamitan dengan keluarga, berdoa, serta bersikap wajar selama pendakian.

Setelah berjam-jam merasa bosan di atas kereta (tidur – ketawa – tidur – baca novel – tidur – jajan popmie dan kopi – tidur lagi – dst.) akhirnya kami tiba juga di stasiun Kalibaru. Pukul 19.58 WITA dan sudah terlalu malam untuk bermalam di Pos 1. Oleh karena itu, kami memutuskan untuk bermalam di basecamp alias rumah warga. Dengan menggunakan ojek dari stasiun Kalibaru menuju kaki gunung. Motor trail tentunya! (Flash tip: Daripada menyewa losbak saya lebih menyarankan kamu untuk memilih ojek, karena medan berbatu dan ongkos ojek juga tidak terlalu mahal).

Arina – Bang Omenk – Naya di Camp 5

Pendakian dimulai esok hari. Dari basecamp ke Pos 1 kamu harus menggunakan ojek (lagi). Perjalanan yang ditempuh kira-kira 10 menit. Jalur yang menanjak dan sempit akan memberikan sensasi tersendiri saat naik ojek hehehe. Tiba di Pos 1 alias rumah Pak Sunarya kita akan disambut oleh pisang goreng dan kopi Lanang. Pak Sunarya, merupakan “Mbah Marijan”-nya Gunung Raung. Konon katanya beliau lah yang membuka jalur Gunung Raung, sehingga dapat dinikmati oleh para pendaki seperti sekarang ini.

Raung memiliki 4 pos dan 9 camp. Pada umumnya para pendaki akan langsung menuju Camp 7 pada petang hari dan mendirikan tenda di sana, lalu melakukan pendakian di malam harinya. Namun bagi yang rombongan jumlah banyak atau yang ingin sedikit bersantai bisa menuju Camp 4 dan mendirikan tenda di sana. Baru lanjut ke Camp 7 keesokan harinya. Karena speed kami berbeda-beda, maka cara kedua tersebut yang kami pilih. Perjalanan kami diiriingi oleh hujan gerimis, baru saat di Camp 3 gerimis sudah mulai berhenti. Pendakian dilakukan dengan sangat santai. Diisi dengan kepulan asap rokok yang tidak berhenti-henti, karaoke, sampai berfoto dengan boomerang. Pada awalnya saya menyetujui permintaan Arina untuk beriringan dengannya (jauh sebelum hari H), ketika hari mulai gelap rombongan masih bersantai di Camp 3, saya dan Bang Irfan (@dolitirfan) pamit untuk jalan duluan menuju Camp 4. Tentu saja saya tidak mau menyusahkan orang dengan keterbatasan penglihatan saya karena saya rabun ayam. Saya dan Bang Irfan tiba di Camp 4 pukul 17.25 WITA. Hanya ada satu tenda 2-3 orang yang sedang berdiri di sana. Teman-teman rombongan sampai di Camp  4 satu jam kemudian.

Kami mendirikan 4 tenda malam itu. Lahan Camp 4 cukup untuk mendirikan  6 buah tenda ukuran 4-5 orang (Flash tip: Jika ingin masang flysheet bawalah yang ukuran besar, karena letak pohon cukup berjauhan). Suhu Camp 4 menurut saya tidak terlalu dingin, mungkin karena masih banyak pohon. Keesokan harinya setelah makan beralaskan kertas nasi yang berbaris-baris, kami melanjutkan pendakian menuju Camp 7, tepatnya pada pukul 10 pagi.

Sarapan di Camp 4 sebelum berangkat Camp 7

Akibat hujan track yang merupakan tanah merah menjadi licin dan becek. Mulai dari Camp 4 ini track lebih sulit dari sebelumnya. Beberapa spot sengaja diberikan webbing untuk membantu pendaki turun dan naik, untuk vegetasi banyak pohon duri di mana-mana dan jari saya sempat tertusuk hingga menjadi bengkak dan bernanah, pohon-pohon besar juga sering kali melintang di tengah track. Spot yang menjadi favorit saya adalah setelah Camp 6 menuju Camp 7, terdapat hutan lumut dan saat itu suasana sedang kabut, membuat pemandangan jadi sejuk dan mencekam (huehehehe lebay). Rombongan terpisah-pisah menjadi banyak regu saat itu. Saya memutuskan untuk beriringan dengan Arina, tidak lagi bersama Bang Irfan yang pasti sudah tiba di Camp 7 dan mendirikan tenda. Saking betahnya saya dan Arina bahkan sempat sisiran dulu memberi kesempatan untuk rambut kami bernafas, di hutan lumut tersebut (maklum kami menggunakan hijab berhari-hari dan tidak mungkin bisa sisiran di tenda karena isi tenda dicampur laki-laki dan perempuan.

Camp 7

Kami tiba di Camp 7 pada pukul 4 sore dan tenda sudah tegak berdiri. Saya dan Arina menemukan spot menarik untuk memasang hammock. Lalu tinggal bersantai menunggu malam (summit time) tiba dan sambil menunggu anggota rombongan lain yang masih di belakang. Kelebihan dari melakukan pendakian Camp 1-7 dalam dua hari adalah kamu bisa sedikit lebih bersantai dan memiliki jeda waktu banyak untuk beristirahat.

Hammock menghadap ke Gunung Argopuro

Niat untuk berangkat summit pukul 3 menjadi setengah 5. Sama seperti sebelumnya, saya dan Bang Irfan meluncur lebih dulu menuju Camp 9, kali ini juga beserta Bang Mangku yang katanya masih mengantuk dan mau tidur dulu di atas sambil menunggu yang lain. Saya pun demikian hehehe. Di Camp 9 kami memakai webbing dan carbiner yang tentu saja dibantu oleh yang sudah berpengalaman. Kemarin saya tidak memakai safety helm, akan sangat baik bila kamu menggunakannya karena track summit seluruhnya adalah bebatuan dan kerikil.

Baru atu dari sekian tanjakan

Jembatan Sirothol Mustaqim 

Puncak 17

 

Hampir menuju Puncak Tusuk Gigi

Jika biasanya kamu summit ke puncak gunung sambil menikmati sunrise setelah itu kembali turun ke camp saat matahari sudah memasuki waktu dhuha, maka pada Gunung Raung tidak demikian. Summit Raung memakan waktu seharian. Untuk menuju Puncak Sejati pendaki harus terlebih dulu melewat Puncak Bendera, Jembatan Sirotol Mustaqim, Puncak 17, dan Puncak Tusuk Gigi dengan cara rappling yang menuntut para pendaki untuk bergantian satu dengan yang lainnya. Itu lah yang menyebabkan pendakian menuju puncak menjadi cukup lama. Menuju Puncak Tusuk Gigi artinya sudah semakin dekat dengan Puncak Sejati. Lumayan sulit menentukan jalur untuk dipijak kaki karena semua medan adalah batu dan kerikil. Untungnya, pendaki terdahulu meninggalkan jejak dan tanda menuju Sejati, yaitu dengan mengikat tali rafia warna-warni pada edelweis-edelweis kecil di sepanjang track. Pukul 12.30 WITA saya menjadi perempuan pertama di rombongan kami yang menginjakkan kaki di Sejati. Semakin haru saat mengingat perjuangan menuju Sejati itu dilakukan dengan tenggorokan yang kerontang dan kepala pusing karena belum masuk makanan sejak tadi malam. Terus terang, ini penting! Flash tip: Jangan sampai pergi summit Sejati dalam keadaan perut kosong, karena rappling dan sepanjang jalan datar sekalipun membutuhkan konsentrasi dan keseimbangan. Perut lapar bikin badan jadi miring-miring, Kapten. Duh!

Je – Me

Beruntungnya kami, cuaca Puncak Sejati cerah hari itu. Menurut warga sekitar Raung selalu diguyur hujan setiap hari selama beberapa minggu ini, bahkan rombongan orang Malaysia yang baru turun kemarin mengatakan bahwa mereka tidak mendapat kesempatan untuk mencumbu Sejati karena hujan dan badai mengguyur tiada henti. Meskipun cerah tidak berarti segalanya menjadi mudah. Yang menjadi PR dari summit Sejati adalah turunnya, karena track lumayan panjang dan tidak landai, sehingga masih membutuhkan aktivitas tali-temali. Cuaca yang cerah seharian itu ternyata tidak seratus persen baik juga, karena angin kencang berkali-kali meniup ke arah kami yang statusnya berperut kosong. Saya punya firasat buruk tentang ini. Benar saja. Jebir selaku orang yang diamanahkan untuk memasak ingin buru-buru turun ke Camp 7 dan mempersiapkan makanan untuk teman-teman serombongan. Saya pun turut serta dan kami lari menuju Camp 7 tentu saja dengan perut kosong. Bayangkan Puncak Bendera – Camp 7 hanya ditempuh hanya dalam 40 menti, yang seharusnya satu setengah jam. Kepala pusing, mata nggak fokus, perut lapar, kepala pusing, akhirnya kami tiba di Camp 7 dan langsung memasak bahan makanan yang tersisa. YAP, KAMI KEHABISAN LOGISTIK DAN AIR. Maka, kami masak seadanya yang pernting perut teman-teman terisi. Bahkan saya sampai perlu mengemis air ke tenda lain. Satu setengah jam kemudian suara yang kami kenal berteriak-teriak mendekat menuju tenda logisitik.

“Mang Dodoy hipotermia!”

Nah!

 

Segera saya dan Jebir memasak air panas, memasukkannnya ke dalam termos, lalu diantar menuju Puncak Bendera. Alhamdulillah…. tanpa perlu diantar tak lama kemudian Mang Dodoy tiba di Camp 7 bersama teman-teman yang membantunya. Malam itu terjadi evaluasi besar-besaran mengenai air, logistik, dan segala macamnya. Saya yakin selain Mang Dodoy sebenarnya semua pun merasa tidak enak badan dan lelah, karena harus summit seharian dalam keadaan berperut kosong. Namun untungnya semua masih kuat menahan, terlebih para rombongan perempuan. Saya tidak hentinya memperhatikan setiap anggota perempuan di tim ini, khawatir akan ada yang tumbang. April sempat menggigil dan muntah-muntah saat baru turun dari Puncak dan tiba di Camp 7, tapi hal itu wajar karena memang kami semua telat makan dan menurut saya sakit yang dialami oleh April masih terbilang wajar. Saya bersyukur bahwa semua anggota perempuan di rombongan ini sehat dan selamat, seperti Arina, April, Jacklyn, dan Vyna. Kata Ariel NOAH, kalian luar biasa! hehehe.

Mangku – Me – Omenk – Juni – Dodoy – Angga

Pengorbanan dan Cinta

Bila apa yang kau berikan untuk cinta kau sebut sebagai pengorbanan, maka itu bukan cinta padamu. Sebab kepada cinta tak seharusnya kita perhitungan, mengharap balas dari apa-apa yang telah kita perjuangkan. Sejatinya cinta dibayar ikhlas, bukan hasrat menuntut balas.

Kau selalu tahu, begitu sulit bagiku keluar dari belenggu yang kerap menjadi rantai gerak-gerik itu. Aku tak pernah mencintai diriku sendiri karenanya. Pada mataku hanya terpancar gelap malam. Sajak-sajakku bercerita tentang ketakutan dan rasa benci. Namun kau yang bersikeras mengatakan bahwa aku jauh lebih baik dari segala kecemasan itu. Padang bunga dengan keindahan yang memekakan mata tak cukup untuk melukiskannya. “Kamu cantik dan kau hanya perlu percaya”, namun sayangnya aku begitu sulit untuk mampu percaya. Rasa cantik itu selalu berhasil kau persembahkan padaku entah bagaimana. Kau meyakinkanku lebih dari diriku sendiri, sama seperti aku mencintaimu lebih dari aku mencintai diriku sendiri.

Aku tak mau mengingat-ingat bagaimana aku cemas bukan main saat tahu kau jatuh sakit. Tak berlama-lama aku mengajukan ijin ke kantor, meninggalkan begitu banyak deadline dan abai akan pesan atasan, lalu bergegas menuju rumahmu tanpa ba-bi-bu. Berjam-jam kuhabiskan waktu untuk memasak makanan kesukaanmu, membereskan begitu berantakannya kamar itu, mencuci piring, melakukan banyak hal hingga terlupa makan seharian. Barangkali kepal tanganku berpengaruh pada suhu tubuhmu, sebab genggamanmu menghangat tak berapa lama kemudian. Peluhmu jatuh satu-satu menetes pada bantal. Kau menyuruhku pulang, namun aku tetap bertahan hingga malam ditelan fajar. Pagi harinya, sebuah hangat menguar dari punggungku. Sebuah selimut membungkus aku yang terduduk. Hangat lainnya kurasa sinar mentari yang berasal dari balkon kamarmu, tapi ternyata tidak. Hangat itu berasal dari tubuhku. Kau mendapati wajahku merah padam, aku hanya membalas tawa. Melihat kau sembuh karena aku yang merawatnya membuat aku menjadi paling cantik sedunia. Aku demam tinggi berhari-hari setelah itu.

Aku tak mau mengingat-ingat saat kubatalkan rencana terbang ke Amerika. Kau melarang atas alasan yang patut kupertimbangkan. Jangankan itu, apakah selama ini aku pernah menentang petuah dan tidak mengindahkan laranganmu? Nyatanya, aku selalu menurut dan itu membuatku merasa menjadi istimewa. Demikian mampu kubuktikan bahwa aku pengikut yang penurut dan setia. Kutitip napasku pada hidupmu.

Aku tak mau mengingat-ingat ketika aku mampu bersabar dengan tidak mendapatkan apa-apa di hari besarku, meski nyatanya telah kubatalkan segala janji. Kau harus bertugas ke luar kota dan aku bisa apa? Aku sabar menunggumu karena hari besarku tak akan menjadi besar bila tidak dirayakan bersamamu. Dengan bersabar, aku merasa menjadi kekasih yang berhati mulia. Sebab mencintaimu dibutuhkan kesabaran luar biasa.

Aku tak pernah mau mengingat-ingat saat kau bertanya, apa cita-cita terbesar dalam hidupku. Kukatakan dengan jelas, ialah menjadi ibu terbaik bagi anak-anakku kelak. Tidak ada yang lebih kuinginkan di dunia selain menjadi istri yang mampu menjadi nahkoda yang baik bagi suaminya, juga menyaksikan bagaimana anak-anakku kelak tumbuh cerdas dan menggemaskan. Jawaban itu kau balas dengan sebuah kecup di dahi. Hari itu menjadi hari spesial untuk kita, bulan dan tahun yang lebih spesial telah kita tentukan bersama. Kita akan segera merealisasikan segala mimpi-mimpi kita yang sejalan. Katamu, tak ada perempuan secantik aku dengan segala kelebihan dan kesempurnaan yang kumiliki. Kataku, sesungguhnya jelas dimiliki padaku begitu banyak kekurangan dan anggapan itu tentu saja berlebihan. Seperti biasanya kau selalu mampu membuatku kehilangan kata-kata untuk mendebat isi otakmu yang licik dan cerdas luar biasa, perempuan yang amat cantik pun tak akan ada apa-apanya bila tidak dimilikinya kepribadian seperti aku. Kau lebih cantik daripada yang paling cantik, bisikmu.

Balasan dan pembuktian apa yang kini bisa kudekap dari seorang kau? Engkau pergi tiba-tiba membawa serta kepercayaan diriku yang pernah kau hadiahkan. Meskipun karena disebabkan oleh banyak hal, berpisahnya kita membuat aku terjembab lagi dalam belenggu. Aku tak lebih cantik dari orang yang tak cantik sekalipun. Balas dari sikapmu seperti coreng di wajahku yang menjelaskan bahwa aku tak sepatutnya dicinta.

Bila apa yang kau berikan untuk cinta kau sebut sebagai pengorbanan, maka itu bukan cinta padamu. Sebab kepada cinta tak seharusnya kita perhitungan, mengharap balas dari apa-apa yang telah kita perjuangkan. Sejatinya cinta dibayar ikhlas, bukan hasrat menuntut balas.

Biar kukatakan bahwa aku telah berkorban untuk kau, maka itu bukan cinta padamu. Aku tak mencintaimu, ternyata. Mudah saja.

Barangkali aku bukan tak patut untuk dicinta dengan segala yang kupunya, aku hanya kebetulan mempersembahkannya ke salah pria. Mudah saja.

 

 

Rahasia dengan Langit

Pernahkah seorang perempuan mencintaimu dengan terlalu, tetapi tidak pula kaulihat perasaannya?

Hujan mengguyur rata kota sejak pagi. Langit tak berwarna apa-apa saat menumpahkannya. Hujan berjam-jam ini terasa seperti luka mendalam yang sekian lama dibungkam tiada redam. Aku tak ingin menghindar, kubiarkan langit mendekapku dengan cara yang ia suka. Kubiarkan tetesnya menjalar di kulitku yang beku. Aku bisa merasakannya, kesedihan mendalam yang telah lama disembunyikan oleh langit di balik awan-awan cerah itu. Air mataku terasa ingin terkuras saja. Ikut jatuh membaur dengan bening air mata dunia.

Gelap awan yang berarak menceritakan banyak hal. Tentang rasa takut dan sepi yang traumatis. Lekuknya persis seperti hitam rambutku yang berombak terbawa angin. Aku menengadah, menceritakan pada langit tentang rinduku yang terlalu. Langit tidak menjawab apa-apa selain tangis yang lebih deras lagi. Namun menatapnya begitu menghibur gelisah. Seolah akan disampaikannya rahasia ini pada hati di jauh sana. Bahkan kami tidak jauh, kediaman itu yang mencipta jarak di antara dua rasa yang bertaut. Kukatakan pada langit, aku tak ingin mencintaimu dengan air mata.

Tiba-tiba gemuruh angin berlari menangkapku dari belakang. Menyelimuti aku dengan sempurna. Mendekap dengan cara paling kusuka. Damai ini. Yang telah entah berapa lama kulupa bagaimana. Angin memelukku atau mungkin seseorang tengah menjelma menjadi angin dan memelukku. Kuhidu aroma khas engkau yang kutemukan di mana-mana saat sosokmu tak ada. Menjadikan aku dengan mudah untuk menemukanmu di setiap jengkal tubuhku. Aku mampu dengan mudah menemukanmu di setiap jengkal tubuhku.

Diam saja dan resapi. Tidak ingin ada suatu apa kulakukan, selain menikmati waktu bersama kau. Tak ada yang kupunya dan bisa kupersembahkan untukmu selain rangkai aksara. Namun terkadang kata-kata itu terasa tak perlu. Sepasang mata kita sudah lebih dulu berbicara dalam hitungan kilat mata. Saat itu, aku ingin kau melihat, kau tumbuh di antara bulu-bulu mataku yang panjang. Kau ada di antaranya dan membuat penglihatanku benderang kapan pun aku menatap dunia. Langit seringkali bercanda, seperti saat ini, dengan meninggalkan butirnya di ujung bulu mataku dan membungkus kau di dalamnya. Senyummu terpantul di sana. Dan lagi dipantulkan genang air di jalan raya ketika langit mulai menyerah untuk membuatku lelah. Kukatakan padanya bahwa aku tengah mencintaimu dengan terlalu dan caraku. Langit kerap kali membumbuinya dengan air mata, senang sekali membuat cerita bahagia menjadi duka. Gemuruh yang dihasilkannya mendorong paksa segala gundah dan keraguan menyeruak di udara.

Aku hanya ingin memastikan, langit tak menghujanimu di jauh sana, cukup saja aku membasahi kau dengan puisi. Yang tak pernah berani muncul dan dikatakan sendiri.

Rintik hujan memelan namun tetap tak mau berhenti. Dan kini aku mendambamu, meski kita akan terpagut tanpa kata tercipta. Dengan ada kau di sisiku saja aku merasa amat sempurna. Bila kau tahu banyak tentang ini, langit pasti yang membocorkannya. Cukup percaya bahwa aku mencintaimu tanpa ragu, diam membeku hanya bagian dari ritual mencintaimu dalam syahdu.

 

 

Yogyakarta, 08-10-2016